Aku membaca bukuku sampai kamu datang ke tempat tidur, tidak tersenyum dan tidak mau menatap mataku.
Kamu menarik t-shirt-mu ke atas kepala dan melemparkannya ke keranjang. Tergeletak di sana, kusut dan cemberut, menantang saya untuk mengatakan sesuatu. Aku berpura-pura tenggelam dalam bukuku tetapi diam-diam melihat saat kamu mepelaskan jeans kamu dan meninggalkannya di sisi tempat tidur.
Aku menarik napas dalam-dalam dan membuangnya pelan sehingga kamu tidak akan mendengar kelainan dari cara bernapasku.
Aku merasa kamu melihatpadaku, menunggu keluhan yang biasa, tetapi aku hanya tersenyum ketika mengangkat kepala dari buku dan menatap matamu yang dingin, menantangku untuk mengkritik.
Aku meletakkan bukuku di meja samping tempat tidur.
Angin malam meniup tirai dan aku bisa merasakan dinginnya saat kamu meluncur di bawah selimut, membelakangiku. Aku ingin menjangkaumu, menyentuh tubuh yang pernah kukenal lebih baik daripada tubuhku, tapi aku takut embun beku yang menempel padamu, kulit kedua yang menolak membekukanku.
Seekor ngengat, lembut dan berbulu, menembus gorden, tertarik ke lampu mungil kamar tidur kita. Ia menuju ke lampu dan berdenyut melawan keteduhan sebelum mencari jeda dari panas. Serbuk sayap berwarna coklat mengepak ke arahku dan dengan lembut membelai pipiku, mengingatkanku pada waktu yang lalu, dirimu yang lebih dulu, kita yang lebih lama.
Aku mengepakkan tanganku ke arah ngengat, mengusirnya. Kamu menoleh ke arahku dan menggenggam pergelangan tanganku.
"Hanya ngengat," katamu. "Padamkan lampu dan dia akan terbang kembali ke luar jendela."
Kamu melepaskan tanganku dan berpaling lagi dariku. Aku mematikan lampu dan berbaring di kegelapan. Pergelangan tanganku terbakar.