Tidak ada bayangan di bagian putih mataku. Tidak ada bayangan di tulangku. Apa bisa disebut manusia jika bukan sesuatu yang memantulkan cahaya?
Atlas Astronomi adalah seratus halaman gelap gulita dan di ujungnya terdapat satu paragraf yang sangat kecil sehingga aku memerlukan suryakanta untuk membacanya.
Jika buku ini yang mewakili seluruh alam semesta, setebal atmosfer Bumi, dan halaman hitam ditumpuk hingga ke bulan, akan memerlukan waktu yang lama untuk membacanya.
Mungkin begitulah cara kerja semua ini---berpikir sangat keras tentang sesuatu yang tidak masuk akal sama sekali, dan kemudian melupakannya.
Ruang tidak memiliki bayangan karena bayangan adalah sebuah konsep, dan jika aku lebih dari diri fisikku, maka ada bagian dari diriku yang tidak masuk akal dan tidak memiliki bayangan.
Sesuatu yang melingkar-lingkar.
Seperti alasan.
Seperti waktu.
Jika bayanganku melekat padaku, maka ia merayap melalui anggota tubuhku menyelinap ke telapak kakiku seperti cacing benang yang berkumpul di tanganku, di ususku.
Membentuk lingkaran, seperti ouroboros.
Ia tahu rutinitasku dan siklusnya. Itu membawaku ke warung karena aku butuh makan, ke kantor, ke sekolah, ke Toko Buku Pojok Tugu pada Jumat sore.