Dari posisinya yang telentang di bangku, Mada menyipitkan mata dan melihat awan dan dahan pohon.
Dia tidak langsung ingat di mana dia berada atau bagaimana dia sampai di sini. Suara bising di sekelilingnya menembus kesadarannya dan menusuk indra dengarnya. Dia menutupi telinga.
Buru-buru dia bangkit. Lingkungan sekelilingnya berada di luar pemahamannya. Ada kereta meluncur, tapi tidak ada kuda yang menariknya. Laki-laki mengendarai kendaraan roda dua yang berjalan sendiri. Di atas kepalanya seekor burung dari besi terbang melintas di langit. Pada saat yang sama, ada dengungan di latar belakang. Saat Mada terbiasa dengan kebisingan, dia memberanikan diri melihat sekeliling.
Ada begitu banyak orang! Semuanya tampak terburu-buru, berlarian dari satu tempat ke tempat lain. Dia bisa mendengar mereka berbicara, tetapi tidak bisa mengerti bahasanya. Dia mengenali beberapa kata tetapi tidak cukup untuk memahami apa yang mereka katakan. Apakah itu bahasa Melayu Seberang?
Semua orang tampak begitu bersih. Gigi mereka berkilau dan putih, rambut mereka dipotong pendek, sehingga kulit kepala mereka nyaris terlihat. Mada memperhatikan bahwa pakaian mereka aneh tapi rapi. Hampir semua orang yang dilihatnya memakai celana tanpa sarung, bahkan para wanita mengenakan pakaian yang menunjukkan lutut dan kaki dengan kasut yang tinggi.
Mada menggelengkan kepalanya seolah berusaha membersihkan sarang laba-laba yang mengotori otaknya.
Saat itulah dia memperhatikan bangunan-bangunan itu. Matanya bergerak ke atas saat dia mengamati menara batu. Rahangnya menganga. Menara-menara itu berkilau dan bayangannya menghalangi matahari. Mada belum pernah melihat sesuatu yang setinggi ini, menjangkau ke langit setinggi yang bisa dicapai burung. Dia menutup matanya, otaknya menolak untuk memahami apa yang dia dengar dan lihat.
Tiba-tiba seorang wanita berpakaian punggawa instana muncul di sampingnya, duduk di bangku.
"Maaf. Ini bukan waktumu untuk datang. Kamu belum dipersiapkan dengan baik untuk masa depan. Aku akan mengirimmu kembali. Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi yang baik menginginkanmu untuk pertempuran dengan orang-orang udik."
Mada tersenyum penuh terima kasih dan kemudian mereka berdua lenyap.