Terengah-engah, dia berdiri sejenak mencoba memahami apa yang baru saja terjadi, tetapi otaknya menolak untuk ikut campur. Audrey menatap nanar pola kertas dinding sampai Popeye mengingatkannya bahwa dia lapar dengan mencakar celana jinsnya.
"Oke, oke," bisiknya, mengangkat mangkuknya ke meja dapur.
Garpu bergemerincing di bagian dalam kaleng saat dia berjuang untuk mengendalikan tangannya yang gemetar hebat karena suatu alasan di luar jangkauannya.
Gumaman suara-suara di ruang depan semakin keras namun semakin sulit dipahami saat dia mencondongkan tubuh dan menempelkan telinganya ke pintu. Lalu terdengar suara pertengkaran. Dan teriakan caci maki.
Dia hampir menjatuhkan garpu saat pintu depan dibanting, nmengguncang peralatan makan di lemari. Dadanya terasa sakit karena tekanan jantungnya yang berdebar kencang.
Popeye mengeong dan mengulurkan tangan untuk mencakar kaleng yang tergantung sangat dekat tetapi masih di luar jangkauan.
Beberapa detik berlalu dalam kesunyian, lalu pecah oleh gedoran keras di pintu depan. Audrey menunggu, lututnya goyah, bersandar ke mesin cuci untuk menopang tubuhnya.
Pintu dapur terbuka dan Ferry berdiri di depannya, pucat pasi, kaget tapi menghindari menatapnya. Audrey tersentak pada setiap pukulan ke dinding yang terbuat dari batu bata dan semen padat di belakangnya.
"Ada apa?" Audrey berhasil bertanya melalui gemeletuk gigi.
Dia memperhatikan rahang Ferry bergetar saat mencari jawaban, dan saat dia membuka mulut untuk berbicara, kabut menghilang.
Dengan gelombang amarah yang dingin, Audrey menyadari bahwa dia tahu persis apa yang sedang terjadi.