"Serius? Kau berharap aku masuk ke sana?"
"Kalau kau mau gabung dengan komunitas kami," kata Richad.
Aku berbalik ke arah rumah Pak Tua Kunun. Sekarang lebih merupakan gudang peralatan daripada tempat tinggal.
Rumah di Jl. Pemancar itu mungkin umurnya sudah ribuan tahun. Sekarang merupakan lahan kosong yang dikelilingi bukit tanah liat merah dan bengkel. Bahkan bengkel pun sekarang kosong.
Ibu jari kakiku tercelup ke dalam lumpur cokelat, merasakannya terjepit dan menempel di kakiku. Aroma bunga kersen di udara dan aku menikmatinya selama mungkin.
"Kamu masuk atau menyerah?" tanya Zizi.
Aku mengambil gumpalan tanah dan melemparkannya ke Zizi. Wajahnya yang berjerawat menjadi pucat sebelum dia menunduk. Gumpalan itu melayang melewatinya dan berhamburan di ilalang tinggi.
Seekor lalat mendengung dan rasanya aku bisa melihat sayapnya bergerak dalam gerakan lambat.
Aku melangkah lebih dekat ke bengkel berdinding dinding seng yang berkarat. Tidak ada jendela, jadi aku tidak bisa mengintip ke dalam.
Cahaya matahari menyinari atap seng, membakar mataku yang lelah. Angin hangat bertiup kencang mengaduk-aduk debu dan daun-daun luruh.