Kami ingin menjadi perawat. Betapa indahnya masa lalu itu, sama sekali tidak seperti pekerjaan.
Ketika ibu mengenakan baju seragamnya, siap berangkat kerja, kami mendambakan jam tangannya yang terbalik. Kami juga menginginkannya, sehingga kami dapat menghitung detak jantung. Mimpi kami adalah bangsal rumah sakit yang lebih mirip kamar kerja: bantal yang empuk, tirai tipis dan lampu redup. Ranjang-ranjang penuh dengan pasien-pasien glamor dan santai mengangkat pergelangan tangan beraroma harum untuk memeriksa pola denyut nadi mereka.
Kami membuat jam tangan terbalik kami sendiri dengan karton dan pena, mengikatnya ke pergelangan tangan kami dengan selotip. Kami menekan jari kami ke pergelangan tangan satu sama lain, terkadang begitu keras hingga meninggalkan bekas merah. Menghitung detak jantung tanpa henti. Tidak ada yang menjadi dokter. Ini bukan permainan dokter-dokteran atau yang semacam itu.
Kadang-kadang boneka kami bergabung, tetapi rasanya tidak sama.
Kami menyukai perasaan yang diberikan oleh pergelangan tangan manusia: denyut ritmis samar yang didorong  dengan lembut ke ujung jari kami.
Sekali waktu, kami melihat di televisi seorang pria memeriksa detak jantung di leher seseorang, jadi kami juga melakukannya sesekali. Ketukannya lebih sulit ditemukan tetapi jauh lebih jelas dan kuat.
Suatu hari, ketukan di leher terbukti sulit ditemukan tetapi kami terus mencari, menekan, dan meremas. Mencari, menekan dan meremas.
Mulai terasa sakit.
Kami ingin berhenti, tapi tidak bisa. Pencarian denyut nadi di leher membuat kami terus dan terus menekan. Mencari dan menekan dan meremas.
Hingga pada akhirnya tak ada lagi denyut yang bisa ditemukan. Tidak ada lagi denyut nadi. Tidak ada lagi denyut kecil yang menekan ujung jari kami.