Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penerus Bayangan

11 Januari 2023   06:25 Diperbarui: 11 Januari 2023   06:32 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Singer And Dancers (a photograph by Rob Li  @ fineartamerica.com)

Harga bayangan hanya enam puluh lima. Lepas atau masih terikat kulit.

Dohree menjualnya per potong, bukan per kilo. Laku menjual dengan cepat di pekan Sabtu, dua atau tiga potong oleh pembeli untuk digantung di ambang pintu atau disimpan di bawah bantal kekasih.

Dia selesai ketika senja datang mengukur luas kios reyot tempat dia menyebarkan barang dagangannya dan tidak menemukannya. Maka senja menyembunyikan rasa malunya di balik selimut malam.

Dohree berjalan bolak-balik dan bolak-balik, seperti angin sepoi-sepoi yang menggoyang ayunan bertali. Dia memastikan bayang-bayang tidak mengikuti ke rumahnya, karena dia tidak ingin membawa mereka ke anak-anaknya yang masih balita.

Di rumah, anak-anak lapar tergeletak di lantai, tidur. Dia memeluk dan mencium kening mereka, berbaring di samping mereka, memaksa dirinya untuk tidur.

Dia harus bangun pagi untuk memotong dan mengukir bayangan baru untuk dijual.

Jika saja dia lebih trampil, masing-masing bayangan akan seukuran, tiga dimensi, cukup baik untuk ditempatkan di dipan atau kursi cadangan di dekat jendela. Sama baiknya dengan hidup, ramah dan peduli. Namun untuk saat ini, mereka hanya meluncur dan menetes, menari dengan meriah, membelai yang kesepian.

Kolektor datang mengetuk saat fajar menyingsing. Bayangan pesanannya masih belum selesai.

"Berapa?"

"Enam untuk satu harga," Dohree menjawab, hampir tidak terdengar, karena dia takut akan amarahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun