Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Skandal Sang Naga (Bab 4)

10 Januari 2023   19:24 Diperbarui: 10 Januari 2023   20:01 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperempat jam menjelang pesawat mendarat, aku merasa perlu untuk memperkecil celah yang mungkin bisa memberi petunjuk tentang tujuan perjalanannya.

"Mengapa ada orang yang datang ke Cina untuk liburan di luar logikaku," kataku berbisik seakan memberitahukan sebuah rahasia besar. "Kalau bukan urusan pekerjaan, aku takkan membiarkan diriku terseret sampai ke sini."

"Cara berpikir Anda persis tunanganku," katanya dengan nada jengkel. Sebutkan 'liburan' dan dia langsung menyebut Bali."

"Setidaknya di Bali matahari selalu bersinar," kataku sopan. "Mungkin Cina punya spot yang bagus. Tapi cuaca biasanya buruk."

"Ah, omong kosong! Saya pernah ke Cina beberapa kali dan cuacanya luar biasa."

"Kamu sangat beruntung, hanya itu yang bisa aku katakan." Aku megorek sejauh yang aku bisa tanpa menimbulkan kecurigaannya. "Contohnya Jepang. Apa yang menarik ketika pohon sakura sedang tidak mekar?"

"Pagoda." Matanya mengejekku sejenak. "Oh, baiklah. Hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu Anda! Shanghai adalah surga museum dan galeri seni. Shanghai adalah kota museum."

Seolah-olah untuk menekankan bahwa ketertarikannya bukan pada laki-laki, dia memainkan cincin pertunangannya, lalu dengan cepat mengubah topik pembicaraan. "Jadi, Anda sedang dalam perjalanan bisnis?"

Aku mengangguk. "Aku seorang jurnalis, menulis artikel teknologi. Sebagian besar tentang teknologi. Itulah alasan aku ke Shanghai. Mereka memiliki teknik baru tentang pencahayaan dinding yang diminati oleh media tempat aku bekerja."

"Topiknya di luar dari kemampuan saya," katanya sambil tersenyum. "Saya rasa sudah waktunya kita mendarat."

Hampir seketika suara Kapten terdengar melalui interkom yang memberi tahu bahwa akan tiba di Bandara Internasional Pudong Shanghai dalam waktu beberapa menit"Harap mengenakan sabuk pengaman. Cuaca di Shanghai," tambahnya, "cerah."

Ranya Vachel mengerutkan hidungnya padaku. "Anda dengar?"

Dia membuka tas tangannya, mengeluarkan cermin, dan mulai melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu di wajahnya. Sambil memoles bibir dengan dengan lipstik, dia berkata, "Terima kasih untuk obrolan singkatnya yang menyenangkan. Mungkin kita akan bertemu lagi di Shanghai."

Sambil tersenyum, aku berharap tak terdengar sebagai ironi, "Baiklah, aku akan mencari kamu."

Pesawat menukik ke bawah menuju garis pantai Cina yang datar. Di sebelah kanan, gedung-gedung pencakar langit Shanghai dibayangi langit biru di sore musim semi yang sempurna. Bagai ular yang meliuk-liuk, Sungai Yangtze membelah kota menjadi dua.

Aku membiarkan Ranya mendahuluiku melewati Imigrasi dan Bea Cukai. Alih-alih meletakkan koper bergaris biru dan kuningnya yang di troli bus maskapai, dia mengambilnya dan berjalan cepat ke pintu keluar utama. Aku mengambil koperku sendiri dari troli dan bergegas mengejarnya, tiba di pintu keluar tepat pada waktunya untuk melihat betis terbalut stocking menghilang ke dalam taksi.

Aku memberi isyarat pada pengemudi taksi berikutnya, tetapi kalah dari orang Amerika. Dari gerak-geriknya dengan tasnya, aku mendapat kesan dia sedang menginstruksikan pengemudi untuk mengikuti taksi Ranya.

Lima detik kemudian aku memerintahkan hal yang sama kepada sopir taksi yang kutumpangi. Sopirku tak bisa berbicara bahasa Indonesia dan aku tak begitu fasih berbicara bahasa nenek dari ibuku, tetapi untungnya kami berdua tahu bahasa Inggris sehingga cukup bagiku untuk menyampaikan permintaanku dengan cepat.

Dengan rokok lisong yang tak lepas dari bibirnya, dia menjawab, "Oki doki," dengan suara datar tanpa ekspresi.

Kami mengikuti taksi Ranya di sepanjang jalan yang sibuk di sisi sungai Yangtze.

Saat kami mendekati jembatan yang paling megah dibandingi jembatan lainnya, taksi yang kami ikuti melambat dan masuk berhenti di samping trotoar. Mencondongkan tubuh ke depan, aku menyuruh sopir untuk terus melewati mereka. "Oki doki," dia menjawab tanpa ekspresi saat aku merunduk untuk menghindari dikenali oleh wanita dan pria yang sekarang berada di trotoar, bertukar sapa.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun