Aku menunggu Ranya masuk lebih dulu, lalu mengikutinya ke dalam pesawat. Saat aku setengah ragu-ragu di samping kursi gandanya, dia mendongak dan tersenyum padaku.
"Oh ... maaf. Apakah ini seat Anda?"
Dia mengulurkan tangan dan mengambil tas tangan dan majalahnya dari kursi di samping tempat dia duduk. Aku duduk dan mengucapkan terima kasih, lalu pintu pesawat tertutup. Dari belakang, suara pramugari yang tenang dan monoton mengingatkan kami tentang prosedur keselamatan, dan untuk mengencangkan sabuk pengaman kami.
Setelah berada di udara dan lampu tanda sabuk penyaman padan, aku mengeluarkan kotak Tic-Tac. Setelah ragu-ragu sejenak, mengulurkannya padanya. Dia mengambil satu dengan tangan berjari ramping. Kukunya dicat merah marun dan sedikit terlalu panjang menurutku. Bukannya berarti aku tidak suka.
Dia kemudian tenggelam dengan majalahnya, aku memikirkan Prima Dasa. Dari apa yang telah dia paparkan, aku berkesimpulan dia membuntutinya dengan cara yang sulit, bersembunyi di balik surat kabar saat dia membuntutinya di museum dan galeri seni. Dan tiba-tiba aku merasa was-was sejenak.
Aku terhitung masih orang baru di dunia spionase dibandingkan Prima, tapi dia memilih untuk mengamati buruannya dari jauh.
Apakah taktikku mendekati Ranya ini salah? Dan sebagai konsekeunsinya, aku akan menempatkan diriku dalam situasi yang tidak dapat kuatasi?
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H