Rina'y tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk lututnya. Mengenakan seluar pendek yang memeluk pinggulnya dengan ketat dan rompi atasan yang terbuat dari mantel cokelat yang dulunya milik Dikker, kalau tidak sedasng cekikikan, dia menyatu hampir sempurna dengan debu Langkaseh. Yang menonjol adalah arang yang menodai kelopak matanya dan ikat pinggang lebar yang disampirkan di pinggulnya yang digantungi sederet peralatan.
Rina'y mengambil sebuah kantung air dan menyerahkannya kepada Malin yang cegukan karena ikut tawa.
"Aku membuatkan teh untukmu. Ingat itu? Kamu meminumnya di Pe'epata. Mengapa tempat yang penuh kebencian itu terus muncul hari ini? Aku sangat senang kita tidak tinggal di sana. Ngomong-ngomong, udaranya lebih buruk di sana dan teh membantumu saat itu. Ingat? Aku membuatnya bukan karena aku tahu ini akan terjadi, tapi karena aku akan membangunkanmu dan memintamu berjalan ke tempat Lalika bersamaku. Dia benar-benar kuat, ya. Tidak mengeluh tentang tertembak dan membantu Musashito menafsirkan kerlip pada pelacak."
Malin mendengus dan menyesap ramuan teh dari kantung air perlan-pelan. Tehnya terasa seperti kasut tua yang basah kuyup, sama seperti tiga tahun lalu. Tapi telah melegakan napasnya di labirin bandar pulau itu, yang lebih buruk daripada Langkaseh, jadi dia terus saja minum.
"Terima kasih, Rina'y. Aku takkan pernah melupakan Pe'epata."
Dia dan Mantir telah meninggalkan banyak kepeng di sana. Kehilangan yang masih membuatnya mulas jika terlalu lama memikirkannya. Malin mengusap perutnya.
Tumit Rina'y menggali ke dalam tanah yang lembut. "Aku merindukan Nanjan."
"Aku juga. Kita harus memberi tahu saudaranya sesekali sebagai penghormatan."
"Dia selalu menyanyikan lagu-lagu bodoh itu. Jadi, kita perlu bernyanyi saat menceritakan saudaranya."
Senyum Rina'y memudar seperti awan debu setiap angin sepoi-sepoi berhenti.