"Kamu ingat SMA," katanya. Itu bukan pertanyaan.
Tentu saja. Baru tahun kemarin.
Dia harus mengakui bahwa itu benar, daripada menatapku seperti itu, seolah-olah dia dalam bahaya padahal mengatakan sesuatu yang terdengar manis.
Itu adalah risiko yang dia ambil, karena kadang-kadang cara seperti itu takkan berhasil.
Dia terdengar seperti cowok di film dengan cahaya lembut di sekitar wajahnya, pori-porinya terlihat tetapi ditaburi bedak ajaib menjadi lebih besar di layar dari kehidupannyata dan karena itu tampak kasar dan jujur.
Tapi di lain waktu dia benar-benar punya aura cahaya di belakangnya, memamerkan helaian rambutnya dan membuat tubuhnya tampak bagus. Dia bisa memelukku dengan kata-katanya yang konyol dan manis.
Saat dia seperti itu, aku bisa merasakan diriku melunak, dari pinggul bergelombang naik ke dada lalu turun ke lutut.
Atau kadang-kadang ada angin sepoi-sepoi yang menerpa kemejanya dan melekatkan kain ke badannya, memberi tampilan bocah ceking yang terasa begitu rapat menempel di tubuhku saat kami bersandar lekat, dan saat itu hal yang manis bahkan terdengar seksi. Dan aku membuatnya bersandar untuk mencoba menemukan posisi yang pas.
Kali ini, tidak ada angin sepoi-sepoi atau cahaya saat kami duduk di gudang rumah ibunya yang pengap.
Aku mencoba menatap matanya untuk melihat seberapa sering tatapannya jatuh di dadaku dengan bajuku terbuka dan tangannya bergerak naik turun sehingga menyapu payudaraku sambil lalu, seperti tak disengaja.