Hampir jam sepuluh. Mereka berada di dunia mereka sendiri, dengan penyesalan dan mengasihani diri sendiri. Waktu tidak berarti apa-apa bagi keduanya, dan mereka tidak merasakan apa-apa.
Pukul sebelas tiga puluh, Awang menggendong Kuntum dan membawanya ke atas. Kuntum tidak menolaknya seperti biasanya ketika Awang ingin menggendongnya. Dia membutuhkan Awang dekat dengannya dan akan membiarkan apa pun untuk membuatnya selalu dekat.
Awang membaringkannya di tempat tidur dan dia segera meringkuk bagai trenggiling.
"Sayang, aku akan turun untuk mematikan lampu. Aku akan kembali sebentar lagi."
"Awang, jangan pergi. Biarkan saja lampunya menyala malam ini. Jangan tinggalkan aku sendirian di sini..."
"Sebentar saja, sayang. Aku akan segera kembali, janji."
"Tolong jangan tinggalkan aku!"
Awang tetap pergi. Dia tidak bermaksud mengabaika permintaan istrinya, tetapi Kuntum harus terbiasa berada di kamar lagi.
Praktis hanya dengan beberapa lompatan, Awang dengan cepat sampai ke dapur. Lampu padam, dan kegelapan total menyelimutinya.
Di lantai atas, kabut mulai menyelimuti tubuh Kuntum saat dia berbaring di sana menyaksikan gelap datang menyelubung. Dia mencoba berteriak, tetapi kata-kata itu gagal keluar dari mulutnya. Kabut menyelimutinya, dan beban kembali menimpa tubuhnya.
Mendekati tangga, imajinasi Awang mulai memenuhi benaknya. Ketakutan melanda dirinya saat dia menaiki tangga. Bagaimana jika sesuatu meraih kakinya dari sisi tangga? Pikiran yang mengerikan ini membuatnya terbang melompati langkah sebanyak yang dia bisa karena takut tangan yang akan memegang pergelangan kakinya.