Seluruh molekul di tubuhku sakit. Antar mereka saling tumbuk. Â
Aku membungkuk ke depan untuk mengurangi rasa nyeri di punggung. Aku mempersiapkan diri untuk mengamati dunia, mengamatinya dengan cermat, dan entah bagaimana menemukan jalan kembali.
Hari ini, aku akan memaksakan diri untuk memperhatikan warna-warni dedaunan. Untuk berkonsentrasi keras dan melihat merah, kuning, hijau, dan biru. Untuk menemukan titik perubahan. Tetapi saat ini pandanganku dikaburkan oleh mobil van abu-abu dan sederet iklan politisi menjual diri, dan aku terlalu terbungkus dalam fakta bahwa tidak ada yang pernah peduli.
Melewati toko-toko yang mati, membandingkan bayanganku  dengan diskon lima puluh persen dan sale setengah harga sebelum mengambil jalan pintas melintasi taman.
Bangku kita di bawah pohon yang lapuk dimakan ngengat. Aku duduk dan melihat sekeliling untuk mencari pemandangan yang memenuhi pikiranku. Terlalu banyak kekasih, anak-anak, kenangan tentangmu.
Yang bisa kulakukan hanyalah melihat ke atas, mencoba menemukan, paling tidak, sepetak kecil langit yang mulus. Sepasang sepatu olah raga usang yang tergantung di kabel listrik di atas kepala dan aku terpaku melihat pria yang tadi melepaskan sepatunya, mengikatnya, memutarnya seperti ketapel, dan melemparkannya ke surga.
 Aku bangkit. Pindah.
Bayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Aku melihatnya lari tanpa alas kaki melintasi pecahan kaca. Jejak darah mengarah ke pintu keluar melewati gerbang besi las tempa dan di kejauhan, seorang lelaki berlari begitu cepat sehingga dia tidak bisa merasakan sakitnya, atau menyadari bahwa tapak kakinya  mengucurkan darah.
Sesampainya di ujung jalan, dia sudah mati berdiri, dan tak lama kemudian, aku berbicara dengan batu nisan dan meletakkan karangan bunga.
Lebih jauh lagi ke selatan, aku menemukan sesosok tubuh yang diletakkan di dekat gerbang pemakaman: gelandangan pemabuk, tanpa sepatu, pingsan, kebas mati rasa. Betapa mudahnya dia menjadi pria itu.