Di bagian api yang paling panas aku melihat bentuk sekilas yang menyerupai sosok manusia. Mengangguk dan mencium udara. Bersorak dan menangis dan bersujud dan berdoa, terus-menerus mengubah diri mereka menjadi bentuk yang lebih bersemangat dan kurang bermartabat.
Bagaikan pertunjukan pentas yang cantik tapi tidak penting, dengan setiap sosok api di sini hilang sebelum akalku yang tumpul dapat menjejali pikiranku. Tapi mereka tetap meninggalkan kesan, jejak paling samar di retina, dan imajinasi orang yang ditaklukkan dapat tumbuh di tanah yang paling gersang.
Saat aku melihat ke dalam api, aku melihat hidupku bersamamu, dan setiap nyala api yang mengangguk, mencium, bersorak, menangis, merendahkan diri, adalah pengingat akan semua peran yang harus kumainkan.
Kau tidak menyukai api yang nyata, lebih memilih api putra-pura yang menjadi wallpaper layar komputer.
Api yang sebenarnya berisik dan berantakan. Percikan api yang mengamuk. Bagai binatang buas yang dikurung, ia meludahkan amarahnya melalui jeruji, mengancam permadani. Dan setiap pagi residu kekerasannya yang dingin dan abu-abu harus disapu dengan hati-hati dan disimpan di tempat sampah luar.
Aku dengan baik-baik menyarankan bahwa keenggananmu terhadap elemen ini sebenarnya adalah semacam fobia. Kamu bisa mencekiknya, seperti kamu mencekiknya. Kamu bisa mengurungnya di dalam ubin cantik dan sekeliling besi yang dipoles, tetapi kamu takkan pernah bisa menjinakkan api. Tidak seperti kamu menjinakkanku.
Api itu kejam. Sama acuh tak acuhnya dengan kayu seperti pada bunga dan wajah manusia. Untuk api, semuanya adalah bahan bakar. Bahkan kamu, sayangku.
Aku meletakkan setumpuk suratmu lagi di atas api, lalu melihatnya memeluk mereka dengan sulur-sulur yang berkedip-kedip, yang menjilat dan berderak dengan nada lembut.
Seprai berwarna krem mengerut dan menghitam di kepalan jingganya, dan aku menangkap aroma sedih yang manis dari tinta yang meleleh, kata-kata sekarat yang dulu sangat berarti bagiku.
Aku hampir bisa mendengar embusan napas terakhir dari suaramu melayang di awan menuju cerobong asap. Dan suaranya, entah aku mendengarnya atau tidak, membuatku tersenyum.