"T-tidak. B-bukan kalian," kata Musashito.
Suara si tua itu bergetar ketakutan, sesuatu yang belum pernah didengar Malin sebelumnya, membuat sendi-sendinya lemas, membuat lututnya menggigil. Dengan bunyi gedebuk, Malin jatuh ke tanah.
Suara lemah Lalika memecahkan semua kekacauan, sejelas langit samudara di waktu dini hari setelah badai. "P-panggil mereka, Kordalika. Suruh mereka pergi dari Malin."
Dan mendadak saja, bayang-bayang hitam meninggalkan wajahnya. Malin mendesis tersedak karena udara tiba-tiba mengalir ke dadanya, jantungnya memompa darah untuk mengantarkan oksigen ke otaknya, tapi dia memaksakan diri untuk merangkak dengan tangan dan lututnya. Memegang tepi meja, dia menarik dirinya ke atas dan berdiri meringkuk di atas meja peramu tuak, terengah-engah.
Dia meludah dan menggeram, melotot menatap kekacauan di bawah kakinya, lalu pada si Manusia Insang.
"Kamu akan membayar mahal untuk ini."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H