"Sepertinya kamu sudah terlalu lama bergaul dengan mereka, Sayang."
Sudah berapa lama huru-hara terjadi di Werlang?
Ini saatnya untuk memanggil bala bantuan.
Malin menarik tali yang tergantung di belakangnya. Tali itu tersambung ke tempat tetangga dan temannya, mantan pemburu kepala dari Badan Otoritas Persemakmuran Suku-Suku Dunia Timur. Di ujung sana sebelah sana tergantung beberapa batok yang akan membuat suara berisik, yang artinya "Dikker, segera ke sini."
Mantan pemburu buronan yang kini menjadi syahbandar pelabuhan Langkaseh itu tidak membalas panggilannya, yang menggunakan cara serupa. Hanya saja di bagian kedai berupa lembar-lembar kain kecil tergantung di dekat jendela.
Malin mencoba lagi sambil matanya terus mengawasi si Napas Air. Tidak ada yang tahu bagaimana betina itu bertindak untuk memuaskan kecanduan tuaknya selanjutnya. Dia menarik tali komunikasi Dikker untuk ketiga kalinya. "Hantooom!" akhirnya dia berteriak semampu paru-parunya menyemburkan udara.
Dikker tidak menjawab.
"Sayang, keliahtannya temanmu tidak ada di rumah. Bisa jadi karena teman-temanku sudah bertemu dengan teman-temanmu dan sekarang mereka sedang bersama-sama. Ya. Teman-temanmu akan kmari, tetapi bukan karena kamu yang memintanya."
Anak rambut di tengkuk Malin berdiri. Sekarang suara derap kaki semakin mendekat mengguncang permukaan tanah.
"Diamlah, Sayang. Aku sudah muak dengan omong kosongmu."
"Namaku Kordalira. Ingat baik-baik. Siapa tahu kamu hidup cukup lama untuk menceritakan kembali kejadian hari ini."