Bunyi ledakan yang membahana dari dermaga tempat kapal berlabuh memorak-porandakan keyakinan Malin yang baru terbentuk, disusul oleh beberapa ledakan lagi. Barang-barang dan peralatan kedai bergetar dan berdentang. Terdengar suara tangga kapal berdebam turun dan berhenti. Ledakan meletus. Barang bergetar dan bendentang. Tangga kapal berdebam. Prosesnya berulang.
"Mereka datang! Mereka datang!" Alira mencibir, mengetuk-ngetukkan jarinya mengikuti bunyi-bunyian dari jauh yang berdenyut rendah dan mantap.
"Kamu dengar suara kaki yang berderap itu?" Dia tertawa nyaring tanpa henti, meluncur turun dari kursi, memukul meja, mendengus seperti kerbau kerdil dari Beleces.
Hentakan itu menjadi lebih jelas, lebih rendah, menenggelamkan ejekannya, mengambil alih denyut jantung Malin hingga dia mencengkeram dadanya.
Jadi, Gadis Insang tidak sendirian. Tetap saja dia tidak bisa dipercaya. Makhluk Air itu harus berhenti bermain-main dengannya. Dunia Barat bukanlah main-main, atau untuk digunakan untuk menakut-menakuti. Si Manusia Ikan harus memahami itu melalui otaknya yang becek terendam air.
Malin mengencangkan kepannya, menghantamkannya ke meja kayu kerambil. "Kamu berbohong padaku. Katakan yang sebenarnya. Siapa yang ada di kapal itu?"
Alira balas melotot. "Sudah kubilang, mereka dari Dunia Barat, dan mereka menginginkan sesuatu yang mereka tinggalkan di sini."
Apa? Pasir? Debu? Kulit kerang?
Langkaseh tidak punya apa-apa. Jika ada yang tertinggal di pulau ini, Musashito, Mantir, atau Nanjan, akan menemukannya. "Langkaseh tidak pernah menjadi garis terdepan atau medan pertempuran. Jangan coba-coba menipuku."
"Dunia Barat lebih pintar daripada yang pernah disangka oleh kaum Dunia Timur."