Jeruk lemon itu hancur berantakan dengan sekali tekan ibu jari. ruas-ruasnya berair dan keras, keasamannya menusuk udara. Dia membiarkan aroma menyelimuti dirinya dalam pelukan hangat. Bahkan jangkrik di rerumputan panjang menjadi musik simfoni di telinganya.
Betapa dia merindukan mereka pada malam-malam sunyi yang dingin ketika salju menutupi dunianya. Betapa dia merindukan bunyi 'krik, krik' ritmis yang mengudara mengejar pertemuan bintang-bintang dengan kesamaan orkestra extravaganza.
Itu bukan idenya, atau bahkan keinginannya. Keputusan seperti itu tidak pernah dibuat oleh anak-anak.
"Kita bukan lagi keluarga," kata ibunya. "Sudah waktunya untuk pergi dan kamu ikut denganku."
Dia membuka mulutnya untuk membantah tetapi hanya lolongan kesakitan yang muncul.
Dari perjalanan itu, dia hanya mengingat lambung kapal yang gelap di laut hitam, terbangun karena suara klakson kapal yang bergema di tebing pelabuhan asing.
Rumah baru itu adalah tempat yang sekeras karang setajam ilalang. Tak kenal ampunan serupa bukit tandus yang dibuat seperti beton dalam cuaca beku yang konstan.
Dia selalu tahu dia akan kembali tetapi tidak pernah tahu bagaimana atau kapan. Dibawa ke sudut pikirannya, kenangan lama merasuki mimpi terdalam.
Kini dia kembali di antara kebun zaitun, kacang-kacangan, kebun anggur. Tetapi dia tidak dapat berbicara. Memori  lidahnya hilang ditelan oleh bahasa suku kata yang bergoyang, ucapan parau, suara yang merendah.
Sampai suatu malam, diminyaki dengan anggur tua, kata-kata lama mulai muncul dari suatu tempat jauh di dalam dirinya. Dilepaskan, sedikit demi sedikit melalui pintu gerbang tenggorokannya, dibuai sejenak di langit-langit mulutnya, dilepaskan dalam nada lembut: