Ganggang laut meninabobokan tiang-tiang dermaga, hanyut ke sana kemari mengikuti pasang surut. Membelai satu sisi lalu sisi lainnya ketika siang berganti malam, malam menjadi siang, tanpa menghiraukan teritip yang melekat.
Sepatu bot menginjak papan atasnya, naik turun dermaga, membawa umpan lobster dan ransel besar, kotak tisu toilet, dan kaleng dari daratan.
Baling-baling perahu mengocok air, mesinnya memuntahkan minyak, mengaduk lumpur dan ikan-ikan kecil, mengusik kedamaian.
Saat angin bertiup kencang dan bulan purnama memancarkan mantranya, badai pun tiba. Hujan mencambuk ombak, memuncak dan menabrak, memuncak dan menabrak, melontarkan bukit air ke atas, terbelah dalam pancuran dan jatuh kembali ke amukan yang semakin dalam.
Pada malam seperti itu, sepatu bot berlarian di dermaga. Lonceng dari tembaga, hijau karena usia, berdentang lantang.
Selamatkan diri kami! Datanglah sekarang!
Lelaki dan perempuan sekoci menerjang, menjawab seruan panggilan, seperti yang selalu mereka lakukan. Mereka menjalankan misi dengan penuh kesadaran bahwa suatu hari nanti giliran mereka, atau putra mereka, atau orang asing dari pantai jauh yang membutuhkan.
Ketika mereka membawa kembali mayat-mayat itu dan membaringkannya di pantai, sekoci lelaki tertua pergi, membalikkan punggungnya, pikir yang lain. Tapi dia berjalan ke tiang di dermaga tempat Lonceng tua digantung dan membunyikannya. Dia membunyikannya dan membunyikannya sampai seluruh desa datang, saat matahari terbit, saat air pasang.
Dan mereka berdiri bersama sebelum juru warta datang, sebelum berita utama ditulis, sebelum kemarahan naik seperti gelombang. Tidak menghasilkan apa-apa, dan bersemangat untuk mati seolah-olah tiada yang lain selain milik mereka sendiri.
Bandung, 21 November 2022