Tiwi menarik napas dalam-dalam dan terjun kembali ke bawah. Dia menendang dengan keras untuk mendorong dirinya ke depan, meluncur di atas taman karang yang indah. Formasinya menawarkan pola yang hidup, bentuk yang fantastis, tekstur yang aneh, dan warna unik yang belum pernah dilihat sebelumnya: lebih berani, lebih cerah, dan lebih cemerlang dari yang biasa dilihat pada petualangan-petualangannya sebelumnya.
Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh koloni karang hijau sambil berenang. Dalam sekejap, seluruh koloni berubah warna, dari hijau menjadi merah.
Tekanan di dadanya meningkat. Paru-parunya serasa terbakar. Dia menarik lengan Miko dengan keras. Cowok itu menunjuk ke atas ke lubang raksasa. Tiwi  berenang secepat yang dia bisa melalui pintu alam itu, menyembul ke permukaan.
Sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya, dia melihat sinar matahari bersinar di rambut emas Miko dan mata biru Zaki. Mereka secara resmi telah checkout  dari hotel belatung yang suram dan memasuki dunia dengan sinar mentari yang indah.
Zaki menatap matanya. "Kita berhasil!"
Dengan napas terengah-engah, Tiwi menjawab. "Ya, dan aku belum pernah melihat yang seperti itu. Ikan itu---"
"Apa kata gue?" Miko menyingkirkan rambutnya yang menutup mata. "Gue udah bilang akan bawa kalian. Kalau perlu gue seret biar nyampe sini."
"Ya, dan aku jamin matamu bakal biru sebelah," kata Tiwi yang membuat Miko tertawa. Dia mengalihkan pandangannya ke atas. Tidak salah lagi, matahari ganda tergantung di langit. "Itu bukan ilusi optik."
"Matahari tiruan. Sekarang gue yakin," Zaki bersikeras.
Miko memukul-mukul air dengan tinjunya, memercikkannya ke segala arah. "Emejing, ya? Yok, kita cari restoran Padang atau warteg, mudah-mudahan bukan tiruan."
Tiwi tersenyum. "Masih pagi, bodoh."
Awan melayang di atas mereka, berubah dari emas menjadi cokelat, lalu menjadi ungu, merah muda, dan oranye. Mereka menatap sekeliling dengan takjub.
Kabut pagi menggantung di atas lanskap yang membentang sampai berkilo-kilometer. Pohon-pohon palem berjajar di pantai, dan di kejauhan, pegunungan hijau dihiasi dengan berbagai warna menjulang tinggi ke langit. Tudung daun dalam rona musim gugur bersinar menghiasi pepohonan yang lebat. Di tempat cahaya matahari menyentuh, cakrawala berkilauan seperti sesuatu yang keluar dari dongeng.
"Ada apa dengan daunnya?" tanya Miko. "Kalau ini wilayah subtropis utara khatulistiwa dan aku yakin ini masih bulan Juli, semestinya bukan musim gugur."
Benar juga, pikir Tiwi. Ini daerah tropis atau subtropis?
Kalau masih di wilayah khatulistiwa, daun biasanya meranggas dan  jatuh ke tanah tanpa tampilan warna yang cemerlang. "Entahlah, tapi aku akan melukis ini saat aku kembali ke rumah---semuanya! Itu akan menjadi sebuah mahakarya."
Zaki mencolek sikunya dan tersenyum. "Gue tahu itu nanti bakal lu lakuin, tapi sekarang mari kita ke pantai."
"Balapan!" Tiwi berteriak dan mengayuh sekuat tenaga.
"Woi, curang!" Miko menenggelamkan tubuhnya dan menembus permukaan beberapa meter melewati Tiwi, lalu meluncur membelah air dengan presisi tinggi. Miko sangat kompetitif dan tidak pernah bisa menolak tantangan.
Jack memberi semangat kepada Miko, "Lu kudu ngebut, Mik! Tiwi udah deket!"
Tiwi mendengar tawa Zaki dan percikan besar di belakangnya. Tiwi meluncur melalui air berwarna merah muda untuk mengejar Miko. Itu dia. Tetap fokus. Posisi tubuh yang baik dan menendang. Yang harus dia lakukan adalah menoleh kepala ke samping untuk bernapas. Mengayuh dengan halus, panjang, dan kuat. Ritme yang stabil. Aku bisa mengalahkan orang-orang ini,nya
Saat menambah kecepatan, tiba-tiba sesuatu menyentuh kakinya. Tiwi berhenti mendadak, pandanganku melesat ke kiri dan ke kanan mengamati permukaan air di sekitarnya. Dia membuka mulutku dan menarik napas panjang.
"Tadi itu apa?"
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H