Tentu bukan jalan menuju kesuksesan dan kemakmuran. Tidak akan membuatnya lebih dekat dengan balas dendam yang dia inginkan. "Tidak pernah ada dongeng yang berharga untuk dijual. Tidak ada minuman gratis, sayang."
Pundak si Duyung menggigil, menjilat bibirnya dan jari-jarinya gemetar. Bau amis terpancar darinya, air asin, dan darah. Kerutannya di lehernya perlahan berubah menjadi lebih tipis, kering, dan lengket, membuktikan bahwa dia sangat membutuhkan minuman itu.
Terbukti lagi saat bibirnya melebar menjadi seringai, tak mempedulikan penolakan Malin. Dalam waktu yang lebih singkat daripada yang dibutuhkannya dia menggeser jari-jarinya di sepanjang meja peramu seolah-olah sedang berada di puncak gairah.
Jari-jarinya yang lentur meninggalkan meja, menuju ke dadanya, membelai sepanjang garis lehernya yang dalam, lalu melepaskan kancing pengait pada bagian depan gaunnya yang sederhana. Warna kulitnya yang keperakan berkilauan menghipnotis.
"Beri aku minuman. Kalau kamu tidak menyukai ceritanya ... "
Tawarannya berhenti. Gaunnya merosot hingga ke pinggang, memperlihatkan kulit peraknya yang sejuk. Kemudian dia berdiri dan membiarkan lapisan penutup tubuhnya yang berwarna-warni jatuh ke lantai. Kakinya yang jenjang melangkah keluar, pipinya merona oleh api rasa malu. Dia kembali ke tempatnya di kursi meja peramu. Bertengger seperti duyung penggoda pelaut di atas batu yang basah kuyup. Sesuatu yang agung terpancar di matanya, tetapi hanya sesaat.
Permintaan itu tidak mengejutkan Malin. Jika makhluk di depannya membencinya, dia akan tampil sebagai orang yang lembut. Perempuan itu duduk menebar bau busuk dari udara yang terkurung dalam bilik terkunci kapal karam. Namun, itu tidak mencegah Malin untuk mengamatinya lebih jelas. Ya, dia pasti seorang penghirup air. Kulitnya yang lembap terlihat dari dada hingga ujung kaki, tidak banyak membantunya untuk menaikkan semangat Malin.
Malin menyilangkan lengannya yang besar di atas dadanya yang lebar dan sengaja membiarkan rambutnya tergerai menutupi sebelah matanya untuk menyembunyikan ketidaksukaannya. Jempolnya yang cokelat menunjuk ke pintu. "Aku tidak menerima jenis mata uang itu."
Malin ingin tertawa senang melihat perubahan dari wajah si duyung. Kemarahan berkobar di sudut bibirnya sampai kerinduannya akan tuak memaafkan semua lebih cepat daripada kapal terakhir yang berangkat ke pusat Dunia Timur. Kemarahan dengan cepat beralih menjadi cemberut genit. "Sebutkan hargamu."
Dia membungkuk untuk memungut gaunnya.
BERSAMBUNGÂ