Malin menatapnya dengan lebih teliti. Celah di lehernya melebar lalu menghilang. Insang seperti pada ikan. Seorang manusia duyung?
Seharusnya mereka telah punah. Sialan! Mereka adalah jenis kaum di Dunia Timur terburuk, jika desas-desus yang telah menjadi legenda itu benar.
Duyung adalah jenis makhluk yang akan melakukan apapun jika memberikan keuntungannya, bahkan merobek dada anak-anak mereka sendiri untuk mencuri jantungnya jika itu akan membuat mereka hidup lebih lama. Begitulah takhayul yang beredar. Dan apa dan mengapa bayangan menyeramkan itu datang bersamanya?
Rasa dingin merayapi bahu Malin, membuat perutnya melilit, terutama pada cara dia bergaya seolah-olah dia punya hak untuk berada di kedainya. Tidak, tanpa kepeng dia tidak punya tempat di manapun di belahan Dunia Timur.
Gerak si duyung berayun seperti rumput laut dalam air pasang saat malam berkilau kuning tercemar bagai busa yang dia gunakan untuk mencuci tempayan, bersinar dengan nyala yang menyakitkan. Seolah-olah dia sangat membutuhkan sinar matahari.
Malin harus menendang pantatnya yang kurus. Hanya saja dia tidak ingin orang-orang yang bernapas dengan insang mendadak menembakkan semacam anak sumpit dari logam ke jidatnya. Bagaimana jika rumor itu memang benar?
"Hanya satu batok tuak saja. Siapa namamu?" Dia melongo melihat tulisan yang mencolok di atas meja peramu. Bibirnya berkedut geli. "Apakah itu namamu? Malin? Nama macam apa itu?" Dia tertawa sambil mendengus, menampar meja berkali-kali sampai akhirnya ingat mengapa dia duduk di sana. Mengemis. "Ayolah, Malin. Jadilah orang yang dermawan."
Belum pernah Malin menaruh iba pada peminta-minta. Yang ini juga takkan mampu mengubah pikirannya. Tidak ingin berlama-lama dan jelas dia tidak memiliki kesabaran untuk mendengar cerita apa pun, Malin harus mencari cara untuk memainkan ini dengan benar. Jika dia membiarkan telinganya mendengar satu dongeng dan merelakan sebatok tuak murah, mungkin tidak akan lebih buruk. Namun Malin takut bahwa itu hanya sebuah jebakan, merasakan bahwa dia telah terjerat di dalmnya hanya dengan membiarkannya masuk ke dalam kedainya, dan tidak peduli apa yang dia lakukan, dia akan tenggelam lebih jauh ke dalamnya.
Sementara dia memikirkan situasi yang berpotensi berbahaya itu, tangannya dengan susah payah menegang dan mengendur, mencuci dan menyeka. Jari-jarinya bagai ruas buku bambu mengoleskan busa berlebih pada celemek bekas yang berwarna merah tua, warna yang menyembunyikan banyak sejarah. Tali berkancing yang kaku menahan baju cokelatnya memiliki warna merah tua yang sama. Pakaian itu membuat darahnya tetap hangat dan diangin-anginkan dengan baik, dipintal dari campuran jerami dan kepompong organik, suatu keharusan baginya untuk mengelola di udara lembap Langkaseh.
Dia menarik-narik tali berkancing, merenungkan apakah duyung itu merupakan ancaman mengingat kabar buruk tentang jenisnya. Malin mengambil kesimpulan bahwa di atas segalanya, dia adalah seorang usahawan dan dia ingin pergi dari lubang neraka ini, pergi ke suatu tempat sehingga tidak perlu memakai pakaian khusus. Dia tidak bisa mulai membuat pengecualian tentang pembayaran. Bisa saja nanti setiap makhluk berinsang yang telah dianggap punah akan berada di sini pada kapal yang berlabuh berikutnya. Bukan jenis usaha yang ingin dia jalankan.