Seharusnya aku tahu ini pasti gagal. Kita terlalu berbeda: seperti lagu Sting 'Englishman in Now York'. Kamu minum kopi aku minum teh, dear. Kamu bilang 'keran', aku katakan 'katup'. Aku tulis 'saliva', kamu ubah jadi 'liur'. Kamu menghilangkan hampir semua idiom, sinonim, tag dialog, atau apapun warnamu.
Omong-omong, warnaku merah, milikmu hitam, yang menurut definisi mutlak bukan warna.
Yang kamu minum kopi hitam. Tidak pernahkah terlintas di benakmu bahwa terkadang akan lebih baik jika membeli sekotak susu UHT dalam perjalanan pulang daripada menungguku membawakannya ke mejamu?
Penggunaan tanda baca interogatif yang terlalu bersemangat juga menjadi masalah. Seperti jiwamu yang terdesak menumpahkan kecap asin manis sedang pedas dalam setiap masakan, menekankan suku kata pertama, bukan suku kata kedua atau ketiga. Dan jangan harap aku akan menambahkan merica dan garam.
Ketika aku mengeluh, kamu membantah semuanya dengan angkuh. Kamu bilang aku membutuhkan terapi. Bahwa aku punya masalah. Period. Itulah yang kamu katakan alih-alih 'titik'.
Kamu sepertinya tidak dapat memahami fakta bahwa kami, penulis, yang menciptakan bahasa yang disebut bahasa Indonesia ini. Itu sebabnya disebut bahasa Indonesia, bukan Inggris atau Amerika.
Kamu jelas tidak mau mendengarkan ketika aku bilang begitu. Mengatakan 'patuhi KBBI dan PUEBI', seakan-akan kamu sedang bicara di Indonesia Lawyer Club sebagai pengacara lembaga penguasa.
Mungkin kesalahan terbesar adalah menjadikan hubungan kita personal lebih dari profesional.
Aku seharusnya tidak pernah memintamu untuk menyunting naskahku. Bukan kamu.
Kamu yang pernah aku cintai karena caramu menyanyikan semua lirik lagu yang salah dari Soneta.