Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Terdampar di Perut Bumi - Buku Satu: Terdampar (Part 12)

13 November 2022   21:30 Diperbarui: 13 November 2022   21:38 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Belatung kunang-kunang, ya?" tanya Miko yang tidak tampak terganggu sedikit pun. "Kereeen! Pentas pertunjukan lighting alami yang luaaar biasa."

Tiwi berpegangan pada Zaki, menyaksikan bayang-bayang menari dan berkelap-kelip di atas batu kapur yang gelap. Dia mencoba menelan ludah kental yang tiba-tiba mengganjal di tenggorokannya.

"Nggak, nggak keren, Mik! Berarti ulat yang menyebabkan cahaya remang-remang, bukan cahaya bulan!"

Tiwi menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdegup kencang. "Bagaimana kalau kita terjebak di sini selamanya?"

Zaki meremas tangannya untuk menenangkan. "Pasti ada jalan keluar... kita akan menemukannya. Selain itu, glowworm harus memakan serangga seperti ngengat dan lalat capung untuk bertahan hidup, jadi pasti ada jalan masuk. Jangan sedih gitu, dong. Ada cacing ini berarti kabar baik. Kita cuma cari titik masuk mereka."

Tiwi meluncur ke depan dengan ayunan lengan yang panjang. "Oke, kalau gitu yuk kita cari jalan keluar dari hotel serangga raksasa ini."

"Bentar. Kenapa airnya?" Zaki mengerutkan kening. Matanya bergerak ke sana kemari, saat dia menyentakkan tangan ke belakang. "Udah tiga kali ganti warna."

Tiwi menciduk air cokelat dan membiarkannya menetes melalui sela-sela jari. Tidak ada yang berubah sejauh yang dia lihat. Yang pasti, dia tidak akan meminumnya karena air itu terlihat seperti berkarat, tetapi selain itu, sama saja bagusnya dengan yang lain.

"Lumpurnya cuma dikit, nggak akan bikin sakit," kata Miko.

Tiwi memfokuskan pandangannya pada air cokelat yang tiba-tiba berubah menjadi ungu. Tangannya melayang menutup mulutnya sendiri. "Lihat! Apakah kalian melihat ini? Aku bersumpah itu berubah tepat di depan mataku."

"Wow, Bro!" Rahang Miko ternganga dan matanya terbuka lebar.

Zaki tertawa dan menepuk punggungnya. "Gue kata juga apa! Kita nggak perhatiin sebelumnya karena sibuk satu sama lain dan langit-langit, dan warnanya benar-benar nggak terlalu jelas."

"Lagi!" Miko tidak bisa berhenti menatap fenomena aneh itu. "Wah. Sekarang ijo! Aneh, ya?"

Saat permukaannya berubah menjadi oranye, Zaki terkesiap. "Nggak mungkin! Warnanya berubah setiap dua puluh atau tiga puluh detik. Tempat macam apa ini?"

Kata-kata itu membuat lidah Tiwi membeku. Dia hanya bisa menggelengkan kepala karena tak percaya.

Mike memutar-mutar tangannya ke depan dan ke belakang melintasi air warna-warni. "Ini gila, Bro!"

"Pasti ada penjelasan yang logis." Zaki berpikir karena kata-katanya sendiri. Dia tidak pernah nyaman dengan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Dengan gelisah dia jarinya bermain-main dengan gesper jaket pelampung. "Mungkin disebabkan cahaya bioluminescent dari ganggang yang terpantul melalui air."

"Seperti ganggang biru yang aku ajak berenang di Maldives?" tanya Tiwi.

"Yoi," jawab Zaki.

Tiwi mengernyitkan alis. "Tapi ini tidak masuk akal. Air di sana nggak berubah warna."

Miko mengangguk. "Ya, Tiwi benar. Gue udah lihat foto-foto dia waktu liburan di Mungkin sebaiknya lu jangan terlalu terobsesi dengan hukum sebab akibat, Zak. Lu persis si Laura yang gue pacarin bulan kemaren. Tuh cewek musti ada penjelasan untuk apa pun."

"Laura? Hmm. Nggak ingat." Zaki terdiam sejenak. "Tapi lu kebanyak cewek, sih. Beneran gue nggak ada yang ingat namanya satu juga."

Zaki benar. Tiap minggu ada aja cewek cantik yang nempel di lengannya hampir setiap minggu. Tiwi bertanya-tanya bagaimana caranya agar dia bisa bersaing dengan semua cewek-cewek itu.

"Yuk, ah! Kita cari jalan keluar dari sini."

Tiwi berenang melalui kubah batu kapur yang besar, diikuti oleh Miko dan Zaki.

Miko memiringkan kepalanya ke kiri. "Hei, rasanya gue lihat ada celah. Lihat itu, Zak?"

Zaki menjulurkan lehernya. "Bukan, cuma bayangan, Bro."

Tiwi berbelok di tikungan dan berhenti, menatap ke seberang ruang yang luas, melewati gugusan stalagmit yang menjulang tinggi. Melalui lubang bergerigi yang tinggi di dinding batu, dia melihat sesuatu yang aneh. Bukan hanya satu, tapi dua matahari bersinar di langit. Sinarnya menembus awan gelap.

Apakah dia terlalu banyak meminum air asin yang membuatnya berhalusinasi? 

Dia mencengkeram formasi batu yang kasar sampai buku-buku jarinya memutih. Bulu kuduknya di leherku berdiri. "Zaki! Miko! Buruan ke sini!"

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun