Udara Langkaseh penuh debu bercampur kapur dan logam ringan, melapisi lidah dan bibirnya yang tebal. Kapal yang datang meluncur menuju dermaga, tingginya tiga pohon kerambil dua likuran, menjulang di atas kedainya.
Bangunan dermaga berwarna-warni berkilauan di bawah sinar matahari, tiga fasilitas menjadi satu di tubir pantai.
Malin tidak akan menyebutnya begitu, kecuali jika kapal yang masuk membawa lebih banyak pemukim.
Kapal itu besarnya melebihi kapal mana pun yang pernah dilihatnya. Kapal perang kelas antar dunia, bayangannya menggelapkan dermaga dan pandangannya ke cakrawala.
Bentuknya seperti hiu pari hitam berbintik-bintik putih , lambungnya rapuh dan tua, menunjukkan dahulu pernah menjanjikan kejayaan dan kemakmuran, tetapi di bagian ekornya terdapat lambang yang aneh. Baru saja digambar ulang: lingkaran setengah biru dan setengah hijau mendominasi buritan, menyalakan kembali sedikit harapan untuk sesuatu yang lebih dari kedatangan pengungsi tanpa modal. Kapal seperti itu bisa menampung hingga tiga ratus orang.
Denyut nadi Malin menderu kencang. Dia membayangkan kepeng yang banyak. Kepeng yang sangat ingin ditambahkannya ke pundi-pundinya.
"Ayolah!" Dia mengepalkan tinjunya ke langit, lalu memaksa dirinya untuk duduk. Kapal yang dengan mudah mengangkut tiga ratus penumpang dan remah-remah.
Saat kapal mendekat, badai debu juga semakin dekat, naik semakin tinggi, jungkir balik dan berputar, berubah lebih gelap dan lebih hitam, menjangkau untuk melahap dermaga, kedai, dan Malin secara bersamaan. Dia mundur ke dalam ruang depan dan membanting pintu, meredam desahanbadai yang mengaum.
Malin menelan ludah, mengutuk cuaca Langkaseh yang menciptakan badai tak terduga.
"Tidak ada yang bisa berjalan lebih dari tiga langkah dari dermaga jika badai tak berhenti, tolol."
Ketika tersadar bahwa impiannya perlahan tenggelam, bibir Malin ternganga lebar. "Oh!"