Aku turun dari mobil. Joko Seng mengangkat tangan ke arahku dan mencondongkan tubuh ke depan untuk berbicara dengan sopir. Mobil besar itu melaju di sepanjang jalan utama ...
***
Aku pikir mungkin ide bagus untuk membuat Emak Ema berpikir bahwa aku adalah seorang polisi. Semakin aku mempertimbangkan ini, semakin aku menyukainya: Emak tak mungkin berbicara sembarangan dengan pengunjung biasa warung, tapi kalau aku menakut-nakuti dia dengan ancaman, dia mungkin akan memberitahuku semua yang aku ingin tahu.
Aku mencari pria paruh baya bernama Prasetyo dan menemukannya tenggelam di balik segunung dokumen, di kantor kecilnya di ujung koridor ruangan Joko. Rupanya dia cukup terbiasa dengan permintaan seperti itu, karena dalam sepuluh menit dia telah memberiku kartu anggota kepolisian dan surat perintah yang memberitahuku bahwa aku adalah Detektif-Inspektur Charles Sitanggang dari Metro Jakarta. Rasanya kalau aku minta anak gajah, Prasetyo tidak akan tampak kaget.
Hanya ada dua truk yang diparkir di luar Warung Emak. dan salah satunya sedang mundur, bersiap untuk lepas landas.
Aku masuk ke dalam Warung dan melihat bahwa hanya ada satu pelanggan lain yang sedang menyuap makanan dari dalam piring.
Sekilas aku menatap diriku di cermin. Aku memakai kaos polo bergaris dan topi pet, karena semua polisi berpakaian preman yang pernah kulihat selalu memakai kaus polo bergaris dan topi pet.
Mak Ema dengan sebatang rokok tergantung di bibirnya, sedang mencuci piring di belakang meja. Dia melayaniku tanpa menatap mataku, atau berkomentar apa pun.
Aku membawa cangkir berisi teh ke meja di dekat dinding dan mengambil majalah bergambar terbitan tiga bulan lalu, lalu dengan santai membalik-balik halaman.
Pelanggan lain menelan sisa tehnya dan pergi ke konter. Mak Ema mengambil uangnya dan memberikan kembaliannya. Setelah sopir itu pergi, aku mendengar truk yang tersisa di tempat parkir dinyalakan.