Air mengalir deras, terburu-buru menuruni sisi miring sungai. Kita bergoyang di perahu yang mengambang.
Tepat di bawah permukaan, ikan-ikan kecil yang melayang-layang berkilauan di bawah sinar bulan. Kita saling berpelukan menyaksikan bintang-bintang berkilauan. Terbawa suasana, kita berbagi cerita, ramalan tentang kebahagiaan kita selamanya terjalin di setiap akhir. Kamu milikku seutuhnya malam itu.
Musim berubah. Angin bertiup dan memicu bisik pertengkaran, memunculkan ketakutan tentang apa yang akan ditemukan di kejauhan. Daun-daun robek dari pohon-pohon yang tersiksa dan dilemparkan ke dalam hiruk-pikuk yang memudar. Air yang kami tumpangi melonjak dan menghantam perahu.
Lalu ada dia.
Dia, yang melemparkan kepalanya ke belakang dengan tawa dramatis. Dia, yang menjentikkan rambutnya menggoda untuk menarik perhatianmu. Dia, yang mengalihkan perhatianmu dari kisah yang kita ceritakan satu sama lain.
Saat angin berembus menelanjangi dunia, rasa lapar akanmu membelit perutku, menggeram dengan kerinduan. Kamu menjauh. Jarak yang mustahil untuk dicapai dengan cahaya yang semakin pupus padam.
Aku menyimpan satu kalimat untukmu. Aku menenun dan menenunnya kembali, melatih lagi dan lagi siar yang akan kusampaikan kepadamu.
Dunia dipenuhi dengan embun beku ketika akhirnya aku melihatmu sekilas. Udara dironai biru kebiruan. Napas kita menguarkan uap, cahaya nila menyebar di antara kita.
Aku tak mampu melepaskan kalimat yang disempurnakan.
Siarku untuk dibagikan tentang hadiah yang kamu berikan padaku, menjadi rahasia. Saat musim semi datang, aku meninggalkan semua yang kukenal, untuk menciptakan jarakku sendiri, untuk melindungi kehidupan yang tubuh di dalam diriku.
Bandung, 11 November 2022