Kerumunan pemirsa terdiam saat Alfonso naik ke atas panggung. Jubahnya berlapis satin merah. Kumisnya yang dilapisi lilin, dilinting meruncing ke atas bagai tanduk iblis.
Bilah pisaunya yang rata dan lebar berbenturan di pinggulnya. Di seberang panggung, istrinya diborgol ke cakram kayu yang berputar. Papan-papan kayu itu tergores oleh hunjaman pisau yang tak terhitung jumlahnya.
Alfonso melepaskan jubahnya, melenturkan bahunya, meretakkan buku-buku jarinya, dan memutar tumitnya untuk melemparkan pisau pertama. Bunyi napas berdesah terengah-engah dari pemirsa saat pisau itu terbang berkedip di udara dan menghantam papan, beberapa sentimeter dari leher istrinya.
Alfonso menyeringai. Ya Tuhan, betapa dia menyukai dunia pertunjukan!
Tantangan pribadinya adalah mendaratkan pisau cukup dekat untuk membuat Alana menjerit seperti orang bodoh. Malam itu, dia berhasil tiga kali. Suatu kali, pedang mendarat cukup dekat sehingga melukai lengannya.
Pemirsa menyukai yang terbaik dari semuanya.
Setelah pertunjukan, dia memarahi kepengecutan Alana.
"Kamu bukan apa-apa tanpa aku," dia mencibir, dan menuangkan vodka lagi ke gelas. "Aku bisa menemukan asisten lain kapan saja. Siapa pun dapat melakukan pekerjaanmu."
Dia minum, dan menghinanya, dan minum lagi, dan Alana duduk di sana, ketakutan, membalut luka di lengannya dan tidak mengatakan apa-apa.
Alfonso mabuk. Dia minum sampai matanya menjadi gelap dan dunia berputar seperti cakram kayu. Ingatan terakhirnya adalah istrinya membantunya turun dari kursi.