"Begitu lahir ke dunia, Marasitha sudah menjadi penyihir yang berbahaya," kata perempuan itu. "Kekuatan semacam itu, bahkan tanpa diinisiasi? Kekuatan yang masih terlalu mentah dan terlalu berbahaya jika dibiarkan. Ada penyihir seperti itu, penyihir yang memiliki kekuatan gaib dalam darahnya tanpa membutuhkan bimbingan atau komunitas. Para penyihir itu harus dibungkam.
"Dia anak baik," desis Agung, menatap kipas langit-langit yang berputar dan berputar. "Dia adalah hal terbaik yang hadir dalam keluarga kami."
Perempuan itu mengangkat bahu. "Sejujurnya aku tidak peduli ikatan perasaan apa yang kamu miliki dengan dia." Dia diam sejenak. "Tetapi kamu akan menemukan bahwa semakin mencoba mengingatnya, semakin banyak pikiran tentang dia yang hilang.Â
Itulah bukti seberapa hebat sihirnya. Kekuatan gaibnya mempengaruhi alam bawah sadar orang-orang di sekitarnya. Dia harus mati hari itu di Desa Gajah, dan akulah yang harus membunuhnya."
Agung menatapnya dengan napas memburu. Di depannya adalah wanita yang mengambil semuanya dari mereka, dalam satu malam, dengan satu tindakan.
"Siapa namamu?" Dia bertanya sambil menodongkan pistol ke dahi perempuan itu.
"Nira," katanya. Niranjana.
"Aku telah mencarimu selama sepuluh tahun. Kenapa aku tidak bisa menemukanmu?"
"Penyihir telah ada di negeri ini selama berabad-abad. Kami tahu bagaimana menyembunyikan diri."
Dia menatap papan catur yang terletak di atas meja. "Permainan yang bagus," katanya sambil mendongak. "Tapi aku tidak pernah menyukainya. Aku lebih suka bertarung. Pertanyaanmu, Agung, tanyakan saja. "