Tombak petir bercabang-cabang menjalar melintasi awan bagai jaring laba-laba neon. Bunyi guntur membuat mama Tiwi terlonjak. Dia melingkarkan lengannya memeluk Tiwi saat perahu bergetar. "Jangan khawatir, sayang. Kamu tahu papamu seorang pelaut berpengalaman."
"Dibandingkan dengan badai lain yang pernah saya temui sebelumnya, ini bagaikan angin sepoi-sepoi." Kapten Papa memaksakan senyum dan menuju ruang kemudi.
Zaki berlari mengejarnya. "Butuh bantuan, Om?"
"Tidak. Kalian semua turun ke tempat aman di dek bawah."
"Aku setuju!" teriak mama Tiwi. Air mengalir di wajah dan rambutnya. "Ayo pergi!"
Tiwi mendengar papanya saya berteriak mengatasi deru angin, "Semuanya. Pakai life jacket. SEKARANG!"
Saat itu, gelombang besar ombak putih asin meledak ke udara dan memercik ke atas mereka. Tiwi menyeka matanya dengan punggung tangan lalu memberi isyarat kepada Miko dan Zaki. "C'mon, guys!"
Mamanya berlari menembus benteng hujan. Guntur menyambar di atas kepala. Tiwi dan yang lainnya mengikuti. Ombak besar meledak di lambung kapal dan memenuhi udara dengan volume air laut yang runtuh.
Perahu itu berayun saat ombak pecah di atas pagar samping, menggoyahkan kaki Tiwi. Dia meraih kursi geladak yang ditanam ke lantai dan menenangkan diri. Air, sedalam sepuluh atau dua belas senti meter menyebar ke seluruh bagian luar fiberglass, mengancam menyapu kakinya dari bawah.
Haruskah dia menyimpang dari jalur untuk mendapatkan jaket pelampung dengan kemungkinan terlempar ke laut? Tidak mungkin. Ada banyak di lantai bawah, dan dia ingin turun dari dek atas ini.