"Aku benci kamu." Kata Niranjana.
"Dan aku tidak pernah mengerti mengapa," kata Citraloka tersenyum. "Ibumu mencintaiku."
"Ibuku?" Nira tertawa. Tawa pertama yang keluar dari bibirnya setelah bertahun-tahun. "Dia membencimu."
"Ah, gadis bodoh," kata Citraloka. "Kami sempat berteman baik. Dia adalah perempuan yang kuat. Kadang-kadang baik. "
Nira mengeluarkan belati melengkung dari balik lengan baju dan memotong pergelangan tangannya. Tapi darah yang keluar tidak menetes ke tanah, justru berputar di udara, berputar-putar, berubah bentuk hingga menjadi pedang panjang berwarna merah. Belati melengkung dicampakkannya ke lantai.
"Dengan senang hati aku akan menghabisi nyawamu," desis Nira. "Sampai tetes darah terakhir."
"Tapi kenapa?" tanya Citraloka sambil tetap tersenyum. "Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah menyakitimu."
"Kamu melanggar aturan komunitas, bertingkah seakan-akan kamu adalah seorang dewi dan melakukan apa pun yang kamu suka." Nira meludah. Citraloka hanya tertawa sinis.
"Apa?" tanya Nira. "Ibuku curiga, dan aku meneruskan enyelidikannya. Kamu perempuan aneh, Citraloka. Jika kamu masih manusia, waktunya akan datang. Cepat atau lambat, semuanya akan terungkap. Saat semua rahasiamu terbuka, apakah kamu telah siap?"
Dia menjilat pedangnya.