Kehidupan karyawan di kantor akuntan publik kedengarannya membosankan. Termasuk hari ini. Dia bekerja keras sampai saat istirahat makan siang, dan akan pulang jam empat sore.
Butuh kopi.
Dia membawa makan siang yang dipesan lewat aplikasi, tapi lupa memesan kopi. Harus minum kopi. Persetan dengan teh. Persetan dengan ruang staf kantor.
Tidak ada kopi di tempat kerja, tapi ada di kafe jelek di jalan belakang gedung. Jadi dia memasukkan kotak berisi mi goreng ke dalam amplop cokelat besar, lalu turun dengan lift lau berjalan ke kafe jeklek di belakang gedung. Tidak ada gunanya makan makanan yang disajikan di kafe. Terlalu mahal dan tidak boleh dipilih sesuai selera.
Dia memasuki area kafe. Tidak ada barista atau pelayan.
Dia berteriak 'pasien gawat darurat' agar terdengar sampai ke belakang melalui pintu staf. Tidak ada respon.
Lebih keras lagi. "PASIEN GAWAT DARURAT MEMBUTUHKAN KOPI!' dan pelayan yang cemberut muncul. Dia mengenalinya. Maria. Tuhan memberkati.
Dia menyukai wajah cemberut Maria. Tentang hidup dan kesedihan, mengingatkannya pada gambar berbingkai Bunda Maria yang tergantung di ruang tamu tetangga sebelah Tante Evelyn, tahun tujuh puluhan.
Maria kesal, tapi hanya sesaat. Dia mengenali pria itu. Pria yang pernah melakukan ini sebelumnya. Datang ke sini, berteriak sembarangan , hanya karena staf kafe terlalu sibuk membantu di belakang dan lupa melayaninya. Maria suka pria itu karena matanya bagus, bahkan saat Maria menatap dengan curiga amplop besar berwarna cokelat, mengepulkan uap, dan bau di bawah lengannya.
Dia menjelaskan kepada Maria dengan lembut dan penuh hormat (karena dia masih memikirkan Bunda Maria yang berduka karena kehilangan putranya di tiang salib), bahwa setiap kali dia memasuki kafe tidak ada yang melayani. Sungguh menyebalkan.