Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penyihir Kota Kembang: VIII. Rencana (Part 2)

22 Oktober 2022   11:30 Diperbarui: 22 Oktober 2022   11:32 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Bedil Onyx," kata perempuan itu dengan suara pelan tapi terdengar jernih. Cara dia berbicara dengan aksen yang bercampur aduk. Burako tidak suka itu karena kedengarannya eksotik. Dan eksotik biasanya berarti masalah.

"Senjata yang tidak perlu diisi ulang, senjata yang tidak pernah meleset dari sasarannya. Senjata yang hanya layak untuk pemegang yang layak."

Burako menyipitkan mata padanya. "Apakah kau ... kau mencoba menghinaku, perempuan jalang?"

Penyihir itu tertawa mendengarnya, tawa yang sangat panjang dan dingin. Dia menurunkan Oloan sambil tetap tertawa dan memegangi perutnya. Kemudian dia berhenti tersenyum, dan Burako berharap dia tidak pernah tersenyum.

Perempuan itu menjentikkan jari-jarinya, dan percikan api biru terbang dari tangannya ke Burako, mengangkatnya ke udara dan membuat tubuh preman itu kelojotan bagai disetrum listrik tegangan tinggi. Dia menjerit kesakitan.

Kei mengulurkan tangan untuk membantu tetapi kemudian sadar bahwa tak ada yang bisa dia lakukan.

Burako jatuh ke tanah sambil merintih. Tubuhnya berasap dan pakaian hangus terbakar.

"Kamu masih ingin mencobanya lagi?" perempuan itu bertanya. "Aku suka dihina oleh laki-laki, jadi ada alasan untukku menjadi ... jahat."

Burako sama sekali tak punya sisa tenaga, tapi dia memaksakan kepalanya untuk menggeleng. Tidak, dia tidak ingin mencobanya lagi.

"Namaku Citraloka," kata wanita itu. "Aku datang ke sini karena aku ingin meminta bantuan kalian."

"Bantuan apa?" tanya Kei.

"Diam!" Burako mendesis ke Kei, lalu menatap Citraloka sambil bangun perlahan, "Bantuan apa?"

Citraloka memandang mereka berdua, lalu menjawab, "Perampokan. Aku ingin kalian membantuku mencuri sesuatu."

"Berapa kau berani bayar?" tanya Burako, tak tersenyum. Dia tak suka tersenyum.

Citraloka menjentikkan jarinya, dan setumpuk uang muncul di tangannya. "Cukup?" tanyanya.

Burako mengangguk. Matanya berubah hijau. Meskipun dia tak suka tersenyum, tapi kali ini merupakan perkecualian. Burako terseyum lebar.

***

Ruangan itu berantakan, tepatnya: seperti kapal pecah.

Samudra kertas, buku, gambar, dan di tengahnya: seorang pria dengan mata merah, kulitnya cokElat tembaga.

IPDA Agung duduk di kantornya dengan wajah menghadap ke papan tulis di dinding, menatap gambar yang ditempel di situ. Gambar wanita yang berbeda, keluar masuk toko di jalan Braga.

Dia telah melakukan pengintaian selama dua minggu, selalu berhati-hati agar tidak terlihat.

Ada yang aneh dengan toko itu, tapi dia tidak bisa menjelaskannya. Dia mencoba untuk mengungkapkannya, tetapi dia tidak bisa. Bagai lelucon buruk beraroma busuk yang tak bisa lenyap dari alam bawah sadar hingga terbawa mimpi saat terjaga di siang hari.

Sesuatu menariknya ke toko itu. Dia pernah masuk sekali, dilayani oleh seorang gadis remaja dengan rambut warna-warni cerah dan mata bulat indah. Tetapi ada sesuatu di matanya yang mengganggu. Tangannya tak pernah keluar dari saku celana.

Semuanya dimulai dengan selembar kertas.

Tapi apa maksudnya itu? Apa maksud semua itu?

Pintu terbuka, dan Agung berdiri, kepalanya terangkat.

"Selamat pagi, Komandan," katanya kepada pria bertubuh gemuk berkacamata yang masuk. "Saya baru saja melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang ... kasus ini."

AKBP Jayus mendengus dan menggelengkan kepalanya, menaikkan kacamatanya yang melorot. "Agung ..." dia memulai.

"Komandan," dia memotong. "Saya hampir mendapatkannya. Saya bisa merasakannya. Saya bisa menuntaskan yang ini."

AKBP Jayus menutup pintu di belakangnya. Menutuonya dengan suara keras.

"Kamu terus-menerus membicarakan omong kosong ini, Agung. Saya telah cukup mengulur-ulur waktu untukmu. Waktu yang panjang dan lama. Yang sangat panjang dan sangat lama." Dia menatap Agung. "Dan apakah saya terlihat seperti orang yang suka mengulur waktu, Detektif?"

"Tidak, Pak," Agung menggelengkan kepalanya. "Tapi, itu tidak akan sia-sia, Pak, percayalah." Dia menuju ke papan tulis dan mengambil gambar dari dinding. "Bapak Lihat perempuan ini?"

AKBP Jayus mengangguk, mendesah.

Agung mengambil potongan kliping koran lokal dan menunjukkannya pada AKBP Jayus. "Sekarang," katanya. "Lihat ini."

AKBP Jayus menurunkan kacamatanya ke pucuk hidung. "Ya," katanya. "Lalu? Politisi juga manusia, Gung. Kalau sudah waktunya dipanggil Tuhan, tidak ada yang bisa mencegahnya. Dan Adrian Jatmiko adalah pria yang punya ... kebiasaan mahal. Semua sudah tahu itu."

"Bukan itu, Pak" kata Agung. "Coba perhatikan lebih dekat. Ada seorang perempuan berpakaian ungu hadir di pemakamannya."

"Lalu?" Kesabaran Jayus mulai menipis.

"Lihat gelangnya," kata Agung, mengambil gambar dari mejanya dan membandingkannya, "pakaiannya, garis rahangnya. Saya tidak tahu bagaimana dia melakukannya, tetapi struktur wajahnya tidak salah lagi. Mereka orang yang sama. Dia pasti menggunakan penyamaran yang entah bagaimana---"

AKBP Jayus melambaikan tangannya. "Tunggu," katanya. "Jadi, maksudmu perempuan ini, entah bagaimana, berubah dan ... apa? Merayu Adrian Jatmiko yang sudah jadi mayat?"

"Surat wasiat," kata Agung. "Adrian Jatmiko punya istri dan empat anak, tetapi dalam surat wasiatnya, semua harta diberikan kepada seorang perempuan yang bahkan belum pernah mereka dengar. Seorang perempuan, kata istrinya, yang memakai gelang emas dan gaun ungu."

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun