AKBP Jayus mengangguk, mendesah.
Agung mengambil potongan kliping koran lokal dan menunjukkannya pada AKBP Jayus. "Sekarang," katanya. "Lihat ini."
AKBP Jayus menurunkan kacamatanya ke pucuk hidung. "Ya," katanya. "Lalu? Politisi juga manusia, Gung. Kalau sudah waktunya dipanggil Tuhan, tidak ada yang bisa mencegahnya. Dan Adrian Jatmiko adalah pria yang punya ... kebiasaan mahal. Semua sudah tahu itu."
"Bukan itu, Pak" kata Agung. "Coba perhatikan lebih dekat. Ada seorang perempuan berpakaian ungu hadir di pemakamannya."
"Lalu?" Kesabaran Jayus mulai menipis.
"Lihat gelangnya," kata Agung, mengambil gambar dari mejanya dan membandingkannya, "pakaiannya, garis rahangnya. Saya tidak tahu bagaimana dia melakukannya, tetapi struktur wajahnya tidak salah lagi. Mereka orang yang sama. Dia pasti menggunakan penyamaran yang entah bagaimana---"
AKBP Jayus melambaikan tangannya. "Tunggu," katanya. "Jadi, maksudmu perempuan ini, entah bagaimana, berubah dan ... apa? Merayu Adrian Jatmiko yang sudah jadi mayat?"
"Surat wasiat," kata Agung. "Adrian Jatmiko punya istri dan empat anak, tetapi dalam surat wasiatnya, semua harta diberikan kepada seorang perempuan yang bahkan belum pernah mereka dengar. Seorang perempuan, kata istrinya, yang memakai gelang emas dan gaun ungu."
BERSAMBUNG