Yang kualami adalah apa yang disebutku ibuku sebagai sawan. Selama tujuh puluh tahun, aku belum pernah pingsan sebelumnya, tetapi aku tahu apa itu. Aku bisa merasakan pikiranku memudar, seperti batu tenggelam ke dasar kolam keruh.
Air mandi pasti terlalu panas, begitulah adanya. Bukan hal lain. Saat aku melorot ke lantai kamar mandi, aku berharap aku lupa mengunci pintu.
Aku mendengar kamu datang, pintu terbuka, bibirmu mengutuk. Aku menyeret mataku terbuka untuk melihat jari-jari kaki milikmu yang besar. Kulit kapalan milik lelaki yang dulu merupakan pekerja keras. Dan kemudian tanganmu berada di bawah ketiakku, mengangkatku, kakiku berusaha tegak tapi tak hendak menurut, seperti boneka kain yang tidak bisa berdiri.
Handuk yang membungkus di sekitar tubuhku jatuh Ketika kamu mengangkatku, dan di sanalah aku, telanjang dan menempel pada kemejamu saat lenganmu melingkarkan di pinggangku. untuk menstabilkan tubuh kita berdua.
Ada hasrat melintas di benakku, atau mungkin hanya kenangan akan hal itu. Diri kita yang lebih muda pasti sudah kembali ke keset kamar mandi yang lembap. Pakaianmu bergabung dengan milikku, tertumpuk di sudut. Momen-momen yang dibuat secepat kilat adalah yang terbaik.
Kamu menopang tubuhku di sisi bak mandi sementara mengatur napasmu kembali dan aku melihat kondensasi uap dari mandi melapisi kontur kaca jendela berkerikil.
“Kamu membuatku takut,” katamu
Aku membalas, “Aku lebih takut lagi ”
Dan jarimu mengangkat daguku, mencium bibirku. “Aku tak sanggup kehilanganmu.”
“Aku masih di sini.”
Bandung, 17 Oktober 2022