Aku pergi ke rumah Tuan Syarif di Bogor sore berikutnya. Sejauh menyangkut mobil, tampaknya aku sukses tanpa syarat sebagai mata-mata yang sedang menyamar. BMW 321i milikku dan BMW 532i David telah kujual dan sekarang aku boleh memakai Mercedes Benz E200 yang disediakan Joko.
Aku mulai mengerti apa yang dia maksud ketika dia bilang bahwa departemennya memiliki 'kekuasaan yang luas' dan 'akses ke dana yang tidak diketahui oleh wajib pajak'.
Menyeringai puas pada diri sendiri ketika menuju ke Bogor, memikirkan petugas pajak yang mungkin akan bertanya-tanya bagaimana mungkin direktur dari sebuah perusahaan Teknik perkapalan yang baru saja dilikuidasi menuju daerah pinggiran Bogor dengan Merzrdes yang masih baru.
Tuan Syarif seperti anak kecil yang menerima set kereta listrik yang diidam-idamkannya ketika aku muncul membawa foto tank dari Pertempuran Teminabuan. Seperti seorang laksamana di anjungan kapal perang, dia duduk di mejanya, memegang foto itu dengan penuh hormat.Â
Dia bolak-balik memeriksa ilustrasi dari buku referensinya melalui kaca pembesar besar dan membandingkannya dengan foto. Kaleng tembakau yang pada kesempatan kperpatam kurang kuperhatikan, berdiri di atas meja di depannya.
Dia memandangku dengan takjub.
"Saya tidak bisa mengatakan betapa senangnya saya tentang ini, Tuan Handaka," katanya, dan matanya yang berair berkedip dengan antusias di balik kacamata tebalnya. "Ini adalah tambahan yang bagus untuk arsip."
"Senang mendengarnya," kataku.
Senyumnya makin mengembang ceria. "Ini menegaskan apa yang saya harapkan, Tuan Handaka," Dia mengetuk buku referensi. "Itu sesuai dengan catatan komandan tank untuk Pertempuran Teminabuan dan sejarah Perang Trikora."
"Ya," aku setuju, "seperti teks di buku referensi."
Nyonya Ria masuk ke kamar dengan secangkir teh di masing-masing tangan. "Saya pikir Anda akan membutuhkan ini, Tuan Handaka," katanya. "Saya tahu suami saya, begitu dia mulai berbicara tentang perang, dia lupa waktu sama sekali."
Aku mengambil cangkir dari tangannya.
"Kebetulan yang luar biasa, Anda menemukan foto itu," lanjutnya. "Dan membawanya kemari untuk dilihat suami saya."
"Memang kebetulan yang menakjubkan," saya setuju. "Tapi itu bukan punyaku. Itu punya seorang pria bernama David Raja."
Dia menatap suaminya. "Nama itu sepertinya tidak asing, bukan, sayang?"
'Tidak untukku, sayangku," kata Tuan Syarif dengan lembut.
Nyonya Ria menoleh ke arahku. "Tentu saja, aku ingat sekarang! Itu adalah nama pria yang Anda sebutkan ketika Anda ke sini sebelumnya, bukan? Pria yang memiliki mobil tempat Anda menemukan kacamata saya?"
"Itu benar," kataku. "Ingatan yang sangat bagus, Nyonya."
Dia tersenyum kecut. "Harus ada salah satu yang punya ingatan yang baik di rumah ini. Suamiku tak pernah ingat apa-apa jika dia perlu sesuatu. Apakah ini David Raja teman Anda?"
"Ya," kataku. "Dia juga rekan bisnis."
"Saya mengerti." Nyonya Ria jelas haus akan informasi lebih lanjut.
"Perusahaan kami bangkrut," lanjutku. "David menghilang, berhutang banyak padaku. Aku masih berusaha untuk menemukannya."
"Yah, tentu saja," kata Nyonya Ria.
"Faktanya, aku berusaha untuk menangani sendiri permasalahan ini secara hukum," kataku padanya. "Aku baru saja menjual mobilnya untuk menutupi sebagian utangnya."
Tuan Syarif tertawa. "Bagus untuk Anda!"
"Aku mendapat harga yang sangat bagus untuk mobil itu," gumamku santai. "Aku menjualnya kepada seorang pria bernama Steben."
Tak satu pun dari mereka bereaksi terhadap informasi ini. Mereka terus menatapku dengan sopan.
"Mobil siapa yang Anda bawa hari ini?" tanya Nyonya Ria.
'Oh, itu," kataku santai. Aku membelinya dari hasil menjual mobil David."
Nyonya Ria menghela nafas simpatik. "Yah, saya harap Anda berhasil menemukan Tuan David," katanya. "Meskipun saya tidak tahu apa-apa tentang bisnis, tetapi pasti sangat menyebalkan ketika hal semacam itu terjadi."
"Oh, aku pasti akan menemukan dia," kataku.
Tuan Syarif mengetuk bingkai foto di mejanya dengan jari telunjuknya. "Maaf," katanya. "Kalau ini bukan milik Anda, Tuan Handaka, ini membuat segalanya menjadi sedikit canggung."
"Oh, kenapa?" aku bertanya.
Tuan Syarif ragu-ragu, lalu berkata dengan malu-malu, "Saya... eh, apakah saya bisa meminjamnya sebentar. Saya ingin punya waktu untuk mempelajarinya lebih dekat."
"Kenapa tidak?" aku tersenyum. "Lagi pula, saya sudah menjual mobil David, jadi saya kira tidak ada salahnya untuk meminjamkan Anda salah satu foto lamanya."
"Anda baik sekali," kata Tuan Syarif. "Saya akan menjaganya baik-baik."
'Tidak apa-apa, Tuan Syarif," aku meyakinkannya. Aku menatap sekali lagi foto Pertempuran Teminabuan dan sebuah ide muncul di benakku.
"Aku akan melakukan tawar-menawar dengan Anda, Tuan Syarif," kataku. "Aku akan meminjamkan Anda foto itu jika Anda mengizinkanku membeli kaleng tembakau."
"Yah ... saya tidak yakin tentang itu," kata Tuan Syarif, tampak kaget dengan saranku.
'Tapi kenapa tidak?" aku bersikeras. "Apakah Anda tidak ingin menjualnya?"
"Bukan begitu, tapi...."
"Lalu ada masalahj apa?" aku mengejar jawabannya.
Tuan Syarif ragu-ragu sejenak.
'Terus terang, Tuan Handaka, saya merasa sedikit bersalah mengatakan ini setelah semua kebaikan Anda. Tapi, kaleng itu harga pasarannya sangat mahal". Dia tersenyum malu
'Tidak apa-apa," aku meyakinkannya. "Aku akan membayar sesuai harga pasar."
"Sayang, kamu tidak mungkin menerima itu," potong Nyonya Ria tegas. "Lagi pula, Tuan Handaka sangat baik kepada kita. Pertama, mengembalikan kacamataku, dan kemudian datang jauh-jauh membawa foto itu."
'Ya, tentu saja, sayangku. Aku tahu," kata Tuan Syarif.
Dia berbalik menghadapku. "Tuan Handaka, kaleng timah ini pernah ditawar kolektor benda-benda militer sepuluh juta. Saya ikhlas melepaskannya untuk Anda sejuta."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H