Aku minta Steben untuk menurunkanku di Kemang dan mampir makan siang di sebuah kafe. Setelah sebotol bir dan sepiring spagheti, aku kembali ke apartemenku, bertanya-tanya apa yang direncanakan Joko Seng untukku selanjutnya.
Aku segera tahu.
Pukul setengah dua Joko meneleponku. "Han, bisakah kamu ke sini secepatnya?"
"Sesuatu yang penting?' aku bertanya dengan penuh semangat.
Suara Joko terdengar biasa saja. "Tidak banyak. Ada video yang ingin kuperlihatkan padamu. Aku rasa kamu harus menontonnya."
Aku sudah kebal dengan kejutan, dan jika Joko ingin mengadakan pertunjukan film di kantornya, siapakah aku untuk mempertanyakannya?
Ruang kerja Joko dipenuhi asap rokok ketika aku sampai. Tirai ditutup dan layar proyektor dipasang di dinding di seberang meja Joko. Di atas meja ada proyektor digital, dan seorang pria yang tampak bosan dengan setelan murahan sedang mencolokkan berbagai kabel di antara itu dan laptop yang ada di sebelahnya.
Berdiri di samping meja seorang pria bertubuh kekar dalam setelan biru yang rapi.
"Halo, Han. Aku ingin kamu berkenalan dengan Bahrum Edfan," kata Joko.
Rasanya ada sesuatu yang samar-samar tentang pria besar itu. Kami berjabat tangan. Aku berkata ragu-ragu, "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"