"Sebentar," potongku. "Apakah klienmu tidak ingin melihat mobil ini sebelum setuju untuk membayar harga yang aku minta?"
"Kau tidak perlu khawatir tentang itu, kawan," Steben meyakinkanku. "Klienku percaya sama aku. Dia tahu apa yang dia dapatkan. Dia tahu aku tidak akan merasa rugi sudah menolong dia mendapatkan mobiol idamannya. Tinggalkan saja mobilmu di sini. Aku akan menulis cek."
"Cek? Tidak, Steben," kataku tegas. "Tidak ada cek. Hanya uang tunai."
Mulut Steben menganga lebar. "Uang tunai?" dia bertanya tak percaya. "Begini, kau tak serius, kan? Mana mungkin aku punya dua ratus juta tergeletak di sekitar barang-barang ini!"
"Kalau begitu, besok aku datang untuk serah terima mobil ini," kataku. "Katakanlah, sekitar jam sebelas. Cukup waktu untukmu mencairkan uang."
"Tunggu dulu. Tunggu sebentar, bagaimana jakalu kau tinggalkan mobilmu di sini sekarang dan aku meminjamkan salah satu punyaku untuk mala mini?"'
"Maaf, Steben," kataku. "Besok siapkan uang tuinai dua ratus juta jam sebelas dan aku akan berada di sini dengan mobil ini."
Ekspresi Steben sekarang secara terang-terangan menunjukkan kebencian yang sangat.
"Oh, baiklah," katanya dengan cemberut. "Sampai jumpa besok."
"Siapkan uang tunai," kataku.