Steben menunjukkan jari telunjuknya yang kotor dengan gemetar ke arah BMW 532i. "Untuk itu? Kau pasti mabok, kawan!" dia tergagap. "Kau pasti sudah gila! Mobil itu tidak akan bernilai dua ratus juta!"
"Aku tidak bilang begitu," kataku sambal tersenyum. "Aku bilang itu yang aku minta untuk mobil itu."
Dia menatapku dengan tatapan memelas. "Aku berani seratus lima puluh."
Sekali lagi aku menggelengkan kepalaku. "Maaf, Tuan Steben."
Dia menarik napas dalam-dalam. "Dengar, aku sudah memberi tahu kau penawaran terbaik. Aku orangnya adil dalam bisnis. Aku tidak mau susah--"
'Tentu tidak," gumamku.
Dia berbicara tergesa-gesa. "Aku akan memberimu seratus tujuh puluh."
"Kamu tidak perlu melakukan hal semacam itu," kataku tegas. "Kalau kamu mau mobil ini, kamu membayar sesuai yang aku minta. Kamu benar-benar sangat beruntung mendapatkannya dengan sangat murah, kamu tahu."
Untuk sesaat kupikir aku sudah bertindak terlalu jauh. Steben tampaknya seperti mendapatkan serangan jantung. "Tapi mobil itu harganya tidak sampai dua ratus!" gertaknya. "Ya Tuhan, aku bisa mendapatkan yang baru dengan harga sekitar dua ratus sepuluh!"
Aku menyadari bahwa waktunya telah tiba untuk mulai menyelidiki sedikit.