Gumarang terbangun keesokan siang dengan pengar yang lebih parah daripada yang pernah dialami dalam hidupnya. Terlebih lagi, saat itu hujan dan mendung gelap seperti hampir malam.
Saat dia merangkak dengan kepala berdenyut dari sofa yang dia tidak ingat pernah tergeletak di atasnya, dia melihat Tando duduk di kursi di sisi lain ruangan, tampangnya lebih buruk seakan baru saja kepalanya kena tembak
"Ya Tuhan. Kau terlihat seburuk yang aku rasakan. Apa yang kamu lakukan sepagi ini?" Gumarang menggerutu.
"Aku juga merasa seburuk penampilan awak, percayalah," Tando menjawab sambil mengerang. "Dan ini bukan pagi. Sudah jam setengah dua, dan aku sudah bangun sejak geraimu menelepon. Mereka membutuhkan awak di sana."
Gumarang kaget. "Apa! Jam berapa ini? Kenapa kau tidak membangunkanku?"
"Pelan-pelan, bung. Aku sudah mencoba membangunkan awak, tapi awak bilang 'berambuslah dan tinggalkan aku sendirian atau aku akan muntah ke muka kau'. Percayalah, aku tidak suka muntah dan aku juga tak tahu apa masalah di gerai awak. Aku tidak terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini. Anak buah awak menelepon sekitar satu jam yang lalu, yah, tidak ... lebih seperti dua jam. Tapi aku ragu apakah itu penting."
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H