Dahulu kala zaman baheula pisan, penyihir datang ke Tatar Pasundan Purwa. Ada yang bilang mereka datang untuk keajaiban di tanah kami, karena seperti yang dikatakan oleh Martinus Antonius Wesselinus Brouwer: "Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum".
Tetapi, sebenarnya para penyihir datang hanya untuk menikmati lotek, odading dan karedok leunca untuk kemudian menetap di sini sejak cicipan pertama. Penyihir dikenal haus darah, kejam, dan jahat, tetapi para Penyihir Kota Kembang, sebuah komunitas kecil yang berkumpul di Toko Serba Ada Nyi Citraloka, berbeda.
Ini adalah kisah mereka.
***
"Aku ada di dalam api itu, nyala api yang membakar dunia. Hanya kegelapan dan kehampaan, tidak ada yang lain kecuali aku."
- Buku Harian Citraloka, 1810.
Jalan Braga 3210, atau 666, kadang-kadang 6 6/6---tergantung kemampuan psikis pengamat---adalah bangunan dua lantai yang tampak biasa. Kuno, tapi biasa.
Di lantai atas tempat tinggal yang menjadi museum debu, jamur, dan sarang laba-laba dari seluruh tanah Pasundan. Di bawahnya toko dengan tulisan Toko Serba Ada Nyi Citraloka dengan warna kuning neon. Kadang merah neon. Kadang hijau neon. Selalu neon meski tanpa lampu. Membuat yang membacanya bertanya-tanya: Naon?
Saat masuk, bagi pengamat awam mungkin terlihat dan terasa seperti toko biasa dengan produk berlabel jelas berjajar di lorong dengan rapi. Ada seorang gadis muda di konter dengan rambut ala Bob Marley biru oranye dibalut seragam merah.
Dia mungkin tersenyum dan melambai saat pengamat awam tersenyum dan balas melambai. Kemudian pengamat awam mungkin berjalan mengelilingi toko, memutuskan untuk membeli daun teh kering dan melanjutkan ke tujuan berikutnya, bertanya tentang warna rambut yang membuat mata sakit.