Sang Peramal meneruskan rajutannya saat menunggu kedatangan si pembunuh. Angin menerobos di bawah dinding tipis tenda dan dia menggigil, menarik jubah mencolok yang diberikan event organizer padanya lebih erat. Bunyi ceret mendidih di dapur di belakang tenda untuk secangkir teh yang tidak akan pernah dia nikmati.
Dia meraih di bawah meja bundar yang ditempati bola kristal--tidak berguna--dan mengganti benang dari ungu menjadi biru tua, senang membayangkan bagaimana syalnya nanti.
Peramal ini adalah salah satu dari sedikit orang yang benar-benar memahami sifat waktu. Ini bukan seperti yang dibayangkan para pujangga yaitu jalur bercabang dengan banyak pilihan berliku, tetapi aliran di mana setiap detik mengalir ke detik berikutnya tanpa bisa dihindari. Dia bisa melihat aliran sungai tapi tidak bisa mengubahnya.
Peluit ceret melengking semakin keras, tetapi sebelum mencapai puncaknya, seorang pria masuk. Rambut sebahunya menempel di kulit kepalanya, dengan keringat dan tatapan liar di matanya. Sebuah pisau ukir berkilauan perak di tangannya yang gemetar.
"Aku sudah menunggumu," kata peramal itu. Lelucon bisnis dari dulu.
Mulut pria itu mengerut seperti dia mencoba memamah kata-kata yang akan dia ucapkan sebelum bisa mengucapkannya. Peramal tahu apa yang akan dia katakan, tahu mengapa dia tidak ingin mengatakannya, dan tahu bahwa dia akan tetap mengatakannya. Dan begitu juga dia.
"Ambil itu kembali!" seru pria itu, ludah beterbangan dari mulutnya. "Aku tidak ingin melihatnya lagi."
"Maaf," katanya, meletakkan rajutannya. "Aku tidak bisa. Tidakkah menurutmu aku sudah mencoba sendiri?"
Pria itu mulai mondar-mandir. "Aku tidak bisa tidur lagi. Yang kulihat hanyalah apa yang terjadi. Masa Depan. Masa Lalu. Semuanya. Aku akan ... aku akan membunuhmu, bukan? Kenapa kamu melakukan ini padaku?"
"Aku sudah memperingatkanmu," Sang Peramal mengangkat bahu. "Ketika kamu dan teman-temanmu datang ke sini minggu lalu, mabuk, dan memohon padaku untuk memberitahumu rahasianya. Aku sudah memperingatkanmu."