Kipas angin baling-baling besar yang berputar di langit-langit dibiarkan menyala sepanjang hari dan malam, berhenti seketika begitu aku berada di tempat tidur setelah Sando dan istrinya membuatkan kami makan malam empal gentong yang mewah dengan ayam kampung goreng. Pencuci mulut mangga gincu segar.Â
Sore itu Devi banyak bicara yang tampaknya tidak terlalu berguna, dalam arti bahwa dia dengan suara mengalun berbicara, kadang-kadang sangat cepat dan kadang-kadang secara empatik mendekati bisikan lambat tentang banyak hal: bagaimana Sando yang sepuluh tahun lebih tua darinya menikahinya ketika dia baru berusia empat belas tahun. Hanya disebutkan oleh Devi, seperti ketika suaminya masih kecil. Bagaimana seorang guru spiritual bernama Kanjeng Samudra yang begitu bijaksana. Bagaimana seorang ahli suara perut dari Madura tinggal di daerah itu. Bagaimana hari libur kadang-kadang disamakan dengan hari kerja.Â
Perasaan 'melankolis manis' yang disampaikan dengan berbisik. Bagaimana ayahnya yang masih memgang agama nenek moyang terkadang menyelundupkan daging pada hari Sabtu sebelum kembali ke rumah desa dengan 'keringat bau daging kerbau' dan senyuman.
Aku bergerak menuju balkon, di sebelah jendela, yang kupikir telah kututup sebelum tidur tapi masih sedikit terbuka, menjelaskan embusan angin kecil yang menyatakan dirinya dari kegelapan yang diterangi cahaya bulan.Â
Meskipun berdiri, aku bisa melihat ke dalam kakus Sando dan Devi. Mereka sedang berdebat. Devi menuding-nuding ke arah suaminya sementara Sando merokok apa yang kubayangkan sebagai ganja.Â
Ini berlangsung sebentar, sampai dia, mengepalkan tinju, meninjunya sekali yang membuatnya mulai menangis di lantai.Â
Baju kebaya biru tua yang menyentuh tikar plastik merah cerah di lantai melengkapi ornamen berbeda yang semuanya diposisikan dengan sempurna dalam dua baris di atas perapian yang ditempatkan di sebelah tampah yang berisi sesajen.
Devi kemudian berdiri dan berjalan menuju tepi pandangan, di samping langkan cokelat, dan meneriakkan sesuatu pada Sando yang berdiri di tengah ruangan sebelum berjalan menaiki tangga, menyalakan lampu kamar dan berbaring di tempat tidur terpal hijau bersamanya. Kaki Devi terbuka lebar.
Aku merasa sesak napas, maka aku merentangkan tangan ke tirai dan kemudian melihat, sekali lagi, pada foto-foto di dinding sandaran tempat tidur.Â
Terdengar papan lantai berderit sebelum pintu terbuka. Aku rasa aku mendengar kamu.Â