Setelah makan malam, Suti menceritakan seluruh rangkaian kejadian tersebut kepada Mama dan Papa. Mereka berdua duduk di tempat tidur di samping Rano, tetapi perhatian Rano sepenuhnya tertuju pada televisi.
Suti duduk di bangku kecil, sikunya diletakkan di pangkuan dan telapak tangan di dagu sementara punggungnya bungkuk ke depan dan dia menceritakan semuanya kepada kedua orang tuannya dengan narasi runtut dan mudah dipahami.
Setelah anak gadisnya selesai bercerita, Papa melirik Rano dan tersenyum. Dia mengusap punggung anak sulungnya dan kembali tersenyum. Rano hampir setinggi dia saat terakhir kali mereka berdiri berdampingan. Tingginya pasti sekitar seratus enam puluh lima sentimenter.
"Papa bangga karena abangmu membela kamu," kata Papa kepada Suti. Suti memamerkan giginya yang putihnya dan senyumnya menghangatkan unit rusunawa yang kecil itu.
Rano tidak mendengar apa yang dikatakan Papa. Yang sampai di telinganya hanya bunyi bergumam yang tak jelas. Dia berbalik dengan cepat untuk menanyakan apa yang dikatakan papanya. Wajahnya datar tanpa emosi saat menunggu jawaban.
"Jangan khawatir, anakku," jawab Papa.
Malam itu, Suti takut untuk mengambil air di pbak penampungan, meski perginya bersama Rano.
"Kamu tidak bisa selamanya takut. Kamu pasti akan berjalan di sekitar lingkungan ini, sendirian, suatu hari nanti. Tapi kali ini kamu boleh tak usah mengambil air, biar Abang saja yang bolak-balik," katanya sambil mengusap rambut Suti.
Suti tersenyum lega dan kembali masuk ke kamar. Rano mengambil ember dan menuju ke bak penampungan.
Sambil berjalan perlahan, Rano memukul-mukul ember dengan lututnya sampai dia mencapai bak penampungan. Tempat itu luar biasa penuh dengan orang dan mereka mengantre dengan meletakkan ember berbaris menurut urutan. Ember yang didepan berarti datang lebih dulu dari yang sesudahnya dan mendapat giliran menampung air lebih dulu.