"Wah, apa yang terjadi, Pak?" Bagas tergagap sebelum otaknya bisa mengendalikan mulutnya.
Masih merasakan darah dan tanah di lidahnya, Awang melirik pakaian dokternya yang kotor, dan tidak bisa menjernihkan pikirannya untuk dapat menjawab pertanyaan bocah itu selain, "Berapa banyak utangku padamu, Nak?"
"Ehm... satu dinar lima dirham. Masih seperti bulan lalu, Pak."
"Oh ya, aku ingat sekarang." kata Awang, melihat ekspresi kebingungan di wajah anak laki-laki itu.
Awang merogoh sakunya dan secara serampangan mengeluarkan tiga logam dinar. "Ini, ambil kembaliannya untukmu," dia berkata sambil menutup pintu.
Sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengobrol dengan tukang koran. Dia baru saja masuk ke rumah beberapa saat yang lalu dan ketika dia bertemu Kuntum, pertengkaran segera dimulai.
"Terima kasih Pak."
Bagas berbalik. Ada nada kecewa dalam suaranya karena dia gagal mengatasi mulutnya yang usil, karena belum cukup umur. Begitu pintu tertutup di belakangnya, Bagas menaiki ke sepedanya dan menuju rumah.
Awang kembali ke dapur, tempat Kuntum duduk sambil menangis. Mungkin banyak kesedihan dalam diri Bagas seperti halnya kemarahan dalam diri Awang, tapi setidaknya dia berhasil mengendalikan perasaannya di depan bocah itu. Bagas akan segera mengatasi kekecewaannya, tetapi kemarahan Awang akan bertahan lebih lama. Hanya Kuntum yang akan meneerima kemarahannya jika dia bisa menahannya.
"Siapa itu?" Kuntum mebentak saat Awang memasuki dapur. "Bagas, tukang koran, dan aku senang aku yang membukakan pintu, bukan kamu," Awang balas membentak sarkastis.