Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 18)

23 September 2022   11:00 Diperbarui: 23 September 2022   11:20 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wah, apa yang terjadi, Pak?" Bagas tergagap sebelum otaknya bisa mengendalikan mulutnya.

Masih merasakan darah dan tanah di lidahnya, Awang melirik pakaian dokternya yang kotor, dan tidak bisa menjernihkan pikirannya untuk dapat menjawab pertanyaan bocah itu selain, "Berapa banyak utangku padamu, Nak?"

"Ehm... satu dinar lima dirham. Masih seperti bulan lalu, Pak."

"Oh ya, aku ingat sekarang." kata Awang, melihat ekspresi kebingungan di wajah anak laki-laki itu.

Awang merogoh sakunya dan secara serampangan mengeluarkan tiga logam dinar. "Ini, ambil kembaliannya untukmu," dia berkata sambil menutup pintu.

Sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengobrol dengan tukang koran. Dia baru saja masuk ke rumah beberapa saat yang lalu dan ketika dia bertemu Kuntum, pertengkaran segera dimulai.

"Terima kasih Pak."

Bagas berbalik. Ada nada kecewa dalam suaranya karena dia gagal mengatasi mulutnya yang usil, karena belum cukup umur. Begitu pintu tertutup di belakangnya, Bagas menaiki ke sepedanya dan menuju rumah.

Awang kembali ke dapur, tempat Kuntum duduk sambil menangis. Mungkin banyak kesedihan dalam diri Bagas seperti halnya kemarahan dalam diri Awang, tapi setidaknya dia berhasil mengendalikan perasaannya di depan bocah itu. Bagas akan segera mengatasi kekecewaannya, tetapi kemarahan Awang akan bertahan lebih lama. Hanya Kuntum yang akan meneerima kemarahannya jika dia bisa menahannya.

"Siapa itu?" Kuntum mebentak saat Awang memasuki dapur. "Bagas, tukang koran, dan aku senang aku yang membukakan pintu, bukan kamu," Awang balas membentak sarkastis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun