Dengan ogah-ogahan, aku mengangkat gagang telepon.
"Ayo," kata Joko, "bilang ingin bicara dengan jenderal Bambang."
Aku menatap Joko Seng, tapi dari ekspresinya menunjukkan niat baik yang tulus. Aku berkata ke gagang telepon, "Tolong bicara dengan Jenderal Bambang."
Terdengar suara seorang pria berkata, 'Tolong tunggu sebentar, Pak Joko."
Kemudian terdengar suara lain, "Hei, Jok. Ada apa?"
Joko mengambil gagang telepon dari tanganku. "Selamat dengan kelahiran cucu baru, Mbang," katanya dan memegang gagang telepon swediemikian rupa sehingga aku bisa mendengar jawabannya.
"Cuma mau ngomong gitu?" tanya suara di ujung sana. "Untuk saat ini, Mbang," kata Joko.
"Sialan," jawaban dari ujung sana menggelegar. "Aku banyak kerjaan, Jok. Entah dengan depertemenmu," suara di sana yang mirip dengan suara Kapolri di televisi disusul bunyi klik yang keras.
Joko menyatukan ujung jarinya dan menatapku. "Apakah itu cukup memuaskan bagi Anda, Tuan Handaka?"
"Ya," jawabku lemah. "Sebenarnya apa yang diharapkan dariku?"'