Pukul tiga sore besoknya, aku sudah berada di sebuah ruangan modern yang besar, dilengkapi dengan kayu jati dan stailess yang ramping. Tidak kurang dari tiga layar datar yang diatur dengan tepat di atas meja serta dua telepon di meja desainer, yang cocok dengan nuansa modern ruangan. Di belakang meja ada sejumlah gulungan peta yang dapat ditampilkan dengan cara yang sama seperti seseorang akan menurunkan tirai.
Joko Seng bangkit dari meja dan mengulurkan tangan. Aku menerima salamnya dan mengamatinya dengan hati-hati. Sepintas dia tampak sangat biasa, jika tidak mencolok. Dia bisa menjadi apa saja: manajer bank, inspektur pajak, pengacara, atau seorang pialang saham. Mengenakan setelan kosmopiltan yang formal dan rapi, dia tidak bisa dibedakan dengan seribu pria lain berusia awal lima puluhan yang pulang-pergi setiap hari dari suburban ke Jakarta.
"Terima kasih baik Anda sudah bersedia datang, Tuan Handaka," katanya dengan ramah. "Silakan duduk dan kalau Anda mau, silakan merokok."
'Terima kasih," jawabku dan duduk di kursi kulit yang nyaman. Joko mendorong kotak rokok ke arah, lalu mengambil sebatang untuk dirinya sendiri.
Saat dia menyalakannya, dia menatapku melalui kepulan asap dengan serius. Tatapannya yang terus terang membuatku gelisah.
"Saya ikut sedih mendengar tentang perusahaan Anda. Kondisi keuangan Anda saat ini pasti sangat buruk," katanya panjang lebar.
"Aku masih punya sahamku," jawabku tanpa maksud membela diri.
Joko menghembuskan asap ke langit-langit dan bersandar di kursinya. "Saya punya penawaran untuk Anda, Tuan Handaka," katanya. 'Ini agak tidak biasa, tapi saya pikir Anda akan menganggapnya menarik."
Dia kemudian diam menunggu tanggapanku.
"Aku ingin mendengarnya," kataku.