Pada usia dua belas, Suti telah tumbuh menjadi seorang gadis muda yang mampu mengabil keputusan yang bijak. Pada hari pertama dia melihat darah mengalir dari bagian tubuhnya yang paling pribadi, dia menangis begitu keras dan diliputi rasa takut.Â
Dia pikir itu tanda-tanda hidupnya akan segera berakhir, dan dia membayangkan bagaimana orang-orang yang dia lihat meninggal dalam film.
Saat itu hari Sabtu dan Mama pergi ke kedai sayurnya. Papa juga telah pergi, tetapi dia tak lama. Dia segera kembali ke rumah karena merasa kurang enak badan. Papa Rano memang telah membatasi jam kerjanya.Â
Jam empat sore dia sudah berada di rumah sementara Suti membantunya membawa bangku kayu panjang ke luar rumah agar Papa dapat duduk di sana dan berbasa-basi dengan orang yang lewat.
Beberapa orang tetangga akan bergabung dengannya. Mereka mengobrol dan tertawa sampai hari senja. Cang Kosim, tetangga yang tinggal di lantai atas selalu menjadi temannya. Mereka berbicara bahasa Sunda dan Suti duduk di lantai dan mengawasi mereka menghabiskan waktu. Papa akan menyuruhnya untuk memesan teh telur di warung Mak Uniang di di jantung kompleks Rusunawa.
"Put'ri," dia memanggil Suti agar mendekat, mengambil uang dan bergegas ke warung.
Papa lebih suka memanggilnya Put'ri sebagai panggilan sayang dengan penekanan pada 'ri' yang menunjukkan rasa sayangnya.
Mata Suti akan terangkat dan tertuju pada papanya setiap kali dipanggil.
"Indit meulikeun Papa inuman teh talua dua di hareup, nya," katanya. Dia berbicara dalam bahasa Sunda kecuali kata 'teh talua'. Dia suka menyebutnya teh talua seperti yang tercantum pada spanduk.
"Tah, putri maneh ngarti Sunda? Perigud," kata Cang Kosim yang lahir dan besar di Kisaran.