Prajurit yang tersenyum dan bergerak maju untuk menerima penawaran yang menggoda dari Janar, tetapi langkahnya goyah dan mendadak mundur ketika tatapan tajam menusuk dari rekannya menghunjam dalam-dalam ke matanya.
Sambil menggelengkan kepalanya kesal dengan pasangannya, prajurit itu melenguh. "Saya tidak peduli dengan barang dagangan Anda bagus atau tidak, kisanak. Saya ditugaskan untuk melarang siapa pun masuk ke Tudung Tenuk ini. Saya harus meminta Anda untuk kembali."
Janar membungkuk malu-malu. "Aku dan istriku telah melakukan perjalanan jauh sampai ke Padang Lawas, dan sekarang kami pulang ke Tudung Tenuh, tanah kelahiran kami tercinta. Kami hanya meminta Anda untuk mengizinkan kami masuk. Kami telah bepergian selama berbulan-bulan. Kuda-kuda perlu istirahat dan air. Aku dan istriku perlu makan dan mengistirahatkan tubuh litak kami."
Penjaga yang ramah memandang mereka dengan tatapan penuh belas kasihan. "Saya serius, kisanak. Kami tidak dapat membiarkan Anda masuk. Anda harus tahu bahwa desa ini penuh dengan penyakit menular dan kami harus mengambil... ehm, tindakan ...yang tepat. Tindakan untuk menahannya."
Janar dan Keti saling bertukar pandang. Keti mengendarai kudanya ke depan dan mencondongkan tubuh sambil memegangi wajah penjaga itu. "Dan tindakan apa yang akan kalian kamu ambil?" dia bertanya.
Pengawal gerbang itu menelan ludah di tenggorokannya dan menatap tanah dengan gugup. Rekannya mencibir padanya, menggelengkan kepalanya dan bergumam "anak bawang." Dia maju dan berdiri di depan rekannya, lalu menodongkan tombaknya ke arah Keti. "Tindakan yang akan kami lakukan bukan urusan kalian. Sekarang, saya akan meminta kalian untuk pergi atau kalian akan menerima akibatnya!" katanya dengan suara keras.
"Aku akan memotong tangan kalian sebelum kalian membakar desa berserta seluruh isinya,"desis Keti marah.
Kedua pengawal itu membeku karena terkejut. Janar mengambil kesempatan dari kejadian itu, memberikan pukulan ke rahang penjaga pertama. Pria malang itu terlontar ke belakang dan terhuyung-huyung hampir jatuh terjengkang. Sementara dia berjuang untuk tetap berada di atas dua kakinya, Keti menarik tali kekang kudanya dengan seluruh kekuatannya. Kuda itu meringkik liar dan mengangkat kaki depannya udara, menendang kepala penjaga yang menodongkan tombak ke Keti. Penjaga itu langsung terjatuh berdebam ke tanah tak sadarkan diri. Temannya yang ramah menjadi kecut dan melemparkan tombaknya ke tanah, berlutut mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
"Tolong, jangan sakiti saya. Saya belum pernah membunuh siapa pun," dia memohon dengan kedua tangan menangkup di atas kepala. "Saya punya seorang istri yang sedang hamil tujuh purnama dan seorang putri yang masih merangkak. Jangan jadikan istri saya seorang randa muda yang harus menghidup dua anak yatim tanpa bapak. Jangan bunuh saya, saya hanya ikut perintah," serunya mengiba sambil menangis. Ingus mengalir dari lubang hidungnya.
Keti dan Janar menatapnya bingung lalu bertukar pandang. Keti menghela napas panjang.