Batara Surya belum menampakkan diri di ufuk timur. Segaris tipis cahaya merah mengintip dari balik Bukit Barisan saat rombongan Keti melaju secepat mungkin menuju desa Tudung Tenuk secepat mungkin mengalahkan angin yang teringgal di belakang punggung mereka.
Telah cukup persediaan yang mereka bawa, cukup untuk menopang mereka selama sebulan di samping perbekalan yang mereka peroleh dari Rakyan Gardapati. Sepenuhnya siap untuk hidup di jalan, kini mereka melakukan perjalanan ke Tudung Tenuk, desa yang hanya setengah hari perjalanan dengan kuda jauhnya. Mereka terus membalap dan tak lama kemudian sejuknya dinihari digantikan hangat sinar mentari di langit tak berawan.
Suketi melirik Janar yang sedang berkuda di depannya memimpin jalan mereka. Berkali-kali dia mencuri pandang melirik pria itu. Dan ternyata bukan hanya dia saja yang melakukan itu. Dalam beberapa kesempatan, dia memergoki Janar menatapnya ketika dia mengira keti tidak melihatnya.
Perasaan asing apa yang ada di hatiku ini? Apa yang terjadi pada diriku? tanyanya dalam hati.
Sebuah pikiran terlintas di benaknya, tetapi dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mencoba menyingkirkan ide gila yang muncul mendadak. Tidak mungkin dia jatuh cinta pada pria itu!
Dari hasil pengamatan terhadap kedua mendiang orang tuanya, kasih sayang hadir ketika seorang pria melakukan sesuatu yang baik untukmu, memperlakukan kamu dengan cinta, perhatian, dan rasa hormat. Seorang pria yang ada untukmu saat kamu membutuhkannya, seseorang yang bahunya bisa menjadi tempatmu bersandar dan yang menolongmu saat kamu jatuh. Bertemu melakukan pembicaraan asmara di bawah sinar bulan yang romantis dan mungkin juga memberikan beberapa tangkai kembang.
Jadi tidak mungkin dia jatuh cinta pada lelaki itu karena tidak ada yang dilakukan Janar padanya. Selain itu, bagaimana mungkin dia mampu mempunyai perasaan saat menjalankan tugas yang mengerikan yang memecah belah kerajaan dan menumpahkan darah.
Namun, tidak bisa tidak, dari cara Janar yang bertingkah aneh saat dekat dengannya, memperlakukannya lebih baik daripada ketika mereka pertama kali bertemu, bagaimana dia sekarang menatapnya dengan senyum lembut di matanya dan ekspresi melamun di wajahnya dan bagaimana dia telah membelanya ketika yang lain marah padanya, Keti tak bisa sepenuhnya menghapuskan kemungkinan lelaki itu memang mempunyai perasaan tertentu padanya.
 Bukankah beberapa hal yang dia lakukan sama seperti yang dilakukan oleh pria yang sedang kasmaran karena menyukai seorang wanita? Sambil terus memacu kudanya, Keti tenggelam dalam lamunannya, merenungkan situasi yang yang tidak bisa dia selesaikan dengan pedang dan anak panah.
"Mungkin aku salah, terlalu ambil pusing memikirkan hal ini. Mungkin ini hanya bagaimana seorang teman bertindak terhadap satu sama lain. Teman-teman...." Keti melihat sekeliling, melirik para begundal yang berkuda bersamanya. Dia belum bisa benar-benar menyebut mereka temannya, sebutan yang masih asing bagi lidah dan benaknya. Tetap saja, sekarang dia lebih peduli pada mereka daripada yang bisa dia akui.